03. Perasaan Raga

374K 37.3K 5.9K
                                    

"Jangan berharap sama hal-hal yang nggak pasti. Soalnya yang pasti aja belum tentu bisa diharapin hehe."

Humaira Azzahra

°
°
°

[BAGIAN TIGA]




"Astagfirullah sakit banget," keluh Aira sambil sesekali meringis.

"Tahan bentar, Nak," ucap bunda yang sedang memijat pelan kaki Aira.

Aira dipulangkan lebih awal, karena kakinya semakin bengkak akibat tak sengaja menabrak Raga. Padahal hanya kecelakaan kecil, namun berdampak besar pada kakinya yang sempat terkilir.

"Kenapa bisa sampai kayak gini?"

"Tadi Aira jalan nggak lihat-lihat, terus nabrak orang." Aira nyengir, menampilkan deretan giginya yang rapi.

"Makanya hati-hati, jangan suka teledor. Kamu itu kebiasaan banget suka bikin Bunda khawatir."

"Iya, Bundahara. Sekali lagi maafin Aira, ya." Aira mencebikkan bibir kecil sambil memasang puppy eyes nya, senjata andalan agar sang bunda tidak memarahinya.

"Yaudah istirahat, kalo masih sakit bilang ke Bunda, supaya nanti dibawa ke dokter."

"Gapapa kok, cuma luka kecil aja. Makasi banyak, Bunda."

Ainun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kecil. Kemudian mengelus kepala Aira yang masih memakai hijab sekolah. "Bunda keluar dulu, jangan lupa mandi, terus ganti seragamnya, ya, Nak."

"Ay ay kapten!"

Setelah bunda pergi, Aira berusaha memejamkan matanya namun tidak bisa. Ia teringat Raga, cowok yang membuat kakinya menjadi seperti ini.

"Ketua osis, cowok terpopuler di sekolah, ketua geng. Ganteng, tapi dingin. Dia cuek aja satu sekolah pada suka, gimana kalo dia ramah?"

Aira menggelengkan kepalanya seraya terkekeh, "Bebby aja naksir banget sama dia."

"Raga Raga, percuma ganteng kalo kamu bukan punyaku." Di detik berikutnya kedua mata Aira membulat sempurna, ia mengusap dadanya seraya mengucap istighfar berulang kali.

"Astagfirullah, Aira cuma bercanda ya Allah."

※※※

Seorang pria tampan dengan rahang tegasnya berjalan menyusuri koridor apartemen sambil sesekali bersiul.

Pria itu mengambil sebatang tembakau kering dari dalam saku celananya. Menyalakan benda itu menggunakan korek, kemudian menghisap dan mengeluarkan asapnya melalui hidung.

Tit tit tit tit! Pintu terbuka, setelah Raga memasukkan 4 digit nomor apartemennya.

Ia melangkahkan kakinya ke dalam, alisnya berkerut ketika mendapati keadaan di ruang tamunya sudah rapi. Padahal seingat Raga, terakhir kali ditinggalkan keadaan apartemennya sangatlah berantakan.

"Kok bisa rapi?"

"Dateng-dateng bukannya salam, malah melongo kayak patung gitu. Nggak punya sopan santun banget sih kamu, Bang!"

Tak jauh dari Raga, berdiri seorang wanita paruh baya yang sudah dipenuhi keriput tapi masih terlihat sangat cantik sedang bersidekap dada.

Raga membuang rokoknya ke dalam tempat sampah, kemudian ia melangkahkan kakinya ke arah wanita tersebut. "Mama? Ngapain kesini?" tanya Raga lalu mencium punggung tangan sang mama.

"Kenapa? Nggak suka? Kamu ngusir mama?"

Raga merotasikan matanya, "bukan gitu, nggak biasanya mama ke apartemen Abang."

"Kalo bukan karena papa kamu yang teleponin mama terus, mama nggak akan mau, Raga. Kalo mama mampir kesini harusnya disambut sama makanan yang enak, bukannya malah ngeliat keadaan apartemen kamu yang kayak kapal pecah. Ujung-ujungnya juga mama yang harus beresin."

Ucapan mamanya barusan berhasil membuat Raga salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Habisnya Raga masih sibuk, Ma. Banyak kegiatan di sekolah, apalagi udah kelas 12, mana sempat beresin apartemen."

"Raga nggak mau nyewa asisten rumah tangga. Mama, kan, tau sendiri Raga paling nggak suka kalo ada orang lain yang nyentuh barang Raga," sambungnya.

"Udah tau sering ngerasa repot, masih aja ngeyel mau tinggal sendiri. Apa susahnya sih, Bang, tinggal bareng sama kita?" omel Sania, mama Raga.

"Raga mau belajar mandiri, Ma."

"Belajar mandiri kayak gimana yang kamu maksud? Makan aja nggak teratur. Mama buka kulkas kamu, isinya minuman neraka semua, Bang. Puntung rokok berserakan di mana-mana. Itu bukan mandiri namanya, TAPI LIAR."

"Kalo mandiri itu kamu harus bisa ngelakuin semuanya sendirian, hidup teratur, kamu bisa ngatur diri kamu sendiri. Ini malah kebalikannya, gimana bisa mama biarin kamu tinggal sendiri kalo kayak gini urusannya, jaga sikap aja kamu nggak bisa," sambung Sania, kemudian mengambil tasnya yang berada di atas meja.

Raga hanya terdiam mendengarkan siraman rohani mamanya, mau membantah pun tidak bisa, karena omongan Sania semuanya benar, Raga akui itu.

"Mama pulang dulu, pikirin lagi omongan mama barusan. Tinggal bareng sama kita bukan suatu kesalahan, Bang. Kamu nggak perlu takut, lupain masa lalu, ikuti logika kamu. Mama tau dalam hati kamu masih ada nama dia."

Deg. Raga terdiam sejenak memikirkan perkataan mamanya, sampai pintu apartemen tertutup rapat bersama dengan perginya sang mama.

Raga berjalan ke arah balkon, menatap langit-langit kota Jakarta yang tertutupi awan hitam. Sepertinya nanti malam akan turun hujan.

Raga menyandarkan tubuhnya pada tiang pembatas, ia membuka dompetnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah foto.

"Gue kangen sama lo. Ayo balik, gue pengen kita kayak dulu."

Raga menatap foto itu dalam-dalam, tatapannya dipenuhi oleh sarat luka. Tiga tahun ternyata tidak cukup untuk melupakan gadis di masa lalunya.

Ia kira dirinya akan baik-baik saja tanpa gadis itu. Nyatanya? Justru saat ini dirinya berteman baik dengan sunyi dan juga sepi.

"Sorry, gue mencintai lo terlalu dalam sampai lupa gimana caranya berhenti," pungkas Raga, kemudian memasukkan kembali foto itu ke dalam dompetnya.

※※※

5K KOMENTAR UNTUK PART INI KITA BONGKAR MASA LALU RAGA🔥

RAGA: BADBOY IS A GOOD HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang