Ternyata kita di apartement yang sama

76 47 40
                                    

Aku hanya menyipitkan kelopak mataku. Mencoba terbuka lalu ku tutup kembali.
"Ah. Selama ini aku di gedung yang sama" gerutuku.

"Kamu lagi mikirin apa?" Tanyanya. Ia menyadari jika aku hanya pura-pura tertidur.

"Ngga. Lupakan!" Jawabku tergesah-gesah. Sembari merapikan tatanan rambut yang sangat berantakan, helai rambutku selalu berhamburan ketika menyentuh bantal yang empuk.

"Bohong!" Serunya. "Apa yang harus ku sembunyikan?" Aku langsung bergegas meninggalkannya. Dengan wajah malu memerah sangat jelas. Membuatku tergesah keluar dari apartemennya tanpa memakai alas kaki.

Aku berlari menuju lift. Disaat waktu seakan berjalan cepat. Jam yang ku lihat mungkin sudah terlalu larut "udah jam 2 malam, bagaimana Dira membawaku naik." Pikirku kesal. Karena hal yang akan menjadi salah paham di antara orang-orang Loby begitu saja terjadi.

."Ah. Bodohnya aku!"aku hanya menghela nafas panjang dan segera masuk ke dalam apartementku sendiri. Setidaknya, aku akan aman hingga esok pagi.

....
Pagi datang dengan cepat. Badanku, seperti ada batu yang menghantamnya. Sakit. Iya, mungkin semalam posisi tidurku tak proposional. sehingga aku tak bisa bangun dengan wajah segar dan cantik.

"Sudah pagi."suara itu membuatku terperanjat dari kasur. Suara yang tak asing datang dari balik kasurku. "Dira!"
Wajahku mengerut bingung. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam apartemenku?

"Bangun... Mandi!"serunya. Mengobrak abrikan selimut yang membalut tubuhku.

"Dir" teriakku. Saat teringat jika aku hanya memakai tanktop dan celana pendek sepaha.

"Apa?" Jawabnya. "Keluar!"gertakku. Aku menyembunyikan tubuhku dibalik selimut yang tertarik olehnya.

"Kenapa?"tanyanya penasaran. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang ingin menggodaku.

"Aku cuma pakai tanktop." Ku tutupi bagian tubuhku dengan selimut. Membuat Dira hanya tertawa.

"Aku sudah lihat tubuhmu Rin,"ucapnya, tanpa memikirkan perasaanku saat itu.

"Dir, please. Keluar! Aku bukan Rinjani yang dulu. Oke, kamu sudah pernah melihatnya dulu. Tapi, saat ini berbeda!"ucapku. Dengan nada tinggi membuat Dira hanya mengikuti kata-kataku. Keluar dengan wajah yang lesu. Menungguku di sofa dengan majalah dan kopi yang ia seduh sendiri.

"Maaf, aku tadi ...."kata-kataku terhenti. Saat Dira datang menghampiriku. Ia membawa secangkir coklat panas dan nasi goreng telur dadar yang terlihat enak. "Sudah, sarapan dulu. Mandi, lalu berangkat ke kantor."ucapnya. Memberikanku piring dan cangkir yang ia bawa dari dapur.

"Ini?"

"Jangan lupa dihabisin,"ucapnya. Dia meninggalkanku, saat aku mencoba menjelaskan mengapa aku bisa semarah itu. Ketika, ia lagi-lagi mengungkit masa lalu yang sengaja ingin ku lupakan.

"Ah. Kenapa Rinjani? Kenapa, kamu ngga bisa lupakan saja Dira. Kenapa kamu datang Dir!kamu, membuatku bingung harus bagaiamana bersikap."cecarku kesal dengan langkah yang bergantian, menapaki setiap sudut ruang tv dengan wajah bimbang.

"Rinjani! Jangan ngomel sendiri. Cepat makan dan berangkat!"suara itu terdengar dari balik pintu yang tak tertutup. "Dira! Sial. Kenapa dia belum pergi."pelikku menggerutu. Mengerti Dira mendengar semua yang ku katakan sebelumnya.

"Iya." Jawabku.

...
Dira menunggu di Lobby. Ia menahan tawa dibalik bibirnya. Seakan ingin menyerangku dengan kata-kata ejekan, mungkin, karena ia mendengar perasaan resah yang kuucapkan tadi.

"Sudah mengomelnya?"tanyanya, Berjalan ke arah bestmend. Tempat mobil kesayangan Dira terparkir.

"Aku dari tadi diam saja. Mengomel bagaimana?"tatapku. Ia hanya tersenyum menyeringai membalas pertanyaan yang kulontarkan kepadanya.

...
"Apa kabar Ibu dan Rani?"tiba-tiba ia bertanya. Ku lihat wajahnya menghadap ke depan sesekali melihatku yang duduk di sampingnya

"Ibu sudah lama tidak menelfon."jawabku santai.

"Kita pergi jenguk Ibu."kata-kata itu terdengar aneh melintas di telinga. Entah aku harus menjawab apa. Ketika Dira sangat ingin bertemu Ibu dan Rani.

"Sekarang?" Tanyaku dengan tatapan bingung.

"Ya ngga lah, besok."

"Besok?"raut wajahku berubah. Tatapanku tak lepas dari wajahnya. "Iya" hanya, jawaban itu yang ku dengar. Dari balik senyumnya yang seperti menyimpan banyak pertanyaan untukku.

Sesampainya di kantor. Aku hanya melihat nya, apa ada maksud yang terselubung. Apa ada yang direncenakannya saat bertemu dengan ibu?. Pikiranku tak bisa berhenti hingga waktu pulang kantor datang.

---***---

Awann sore telah datang menjemputku. Aku, berusaha pulang lebih awal. Setidaknya aku tak bertemu dengan Dira. Disaat ia terus terusan mendesakku untuk berangkat menemui Ibu dan Rani di Jogja.

"Rinjani !"ada langkah yang berlomba mengejar dari belakang. Terdengar suara nafas yang beradu dekat dengan daun telingaku.

"Iya?"aku menghela nafas panjang. Seberapa kerasnya usahaku menjauh dari nya. Tetap saja, tuhan akan datangkan dia kembali menemuiku.

"Besok. Kita keJogja," tatapnya. Ia tersenyum lalu menyeka hidung mungilku dengan jari telunjuknya.

"Besok... Aku banyak kerjaan."aku mencoba mencari alasan untuk tak pergi dengannya.

"Tenang, semua udah ada ijin ayah."

"Pak Dermawan?"tatapku tak menyangka. Apa yang Dira katakan sehingga Pak Dermawan mengizinkanku pergi disaat kerjaan begitu menumpuk di meja.

"Iya. Calon mertuamu."senyumnya.

"Baik, aku ikut."langkahku mengikutinya dari belakang.

"Nanti malam aja kita berangkat kalau gitu. Ngga jadi besok!" Serunya. Tubuhku menabrak tubuhnya yang tiba-tiba berhenti.

"Mendadak banget, kayaknya bener firasatku deh,"ucapku. Dengan Lirikan yang tak bisa jauh dari rasa penasaran.

"Firasatmu selalu tidak tepat tau!" Gumammnya.

"Iya deh. Aku akan bersikap baik." Senyumku dengan simpul sempurna.

"Nah gitu dong."senyum marjannya keluar dengan manisnya. Senyuman itu mulai mengetuk lagi perasaan yang sudah lama bersarang. Tak tersentuh oleh siapapun selama 3 tahun terakhir.

..
Jam 18.00
Aku mengemas baju dan bekal makanan untuk dijalan. Dira menungguku di ruang Tv, karena tak cukup banyak di bawa seorang lelaki jika ingin berpergian. Bahkan ke luar kota sekalipun. Ia hanya membawa satu tas ransel hitam dan laptop untuk kepentingan pekerjaannya.

"Rinjani. Lama amat siap-siapnya."teriak Dira dari ruang Tv. Menggema hingga terdengar ke ruang tidurku.

"Sabbar. Cerewet banget."gerutuku. Sembari menghampirinya di ruang Tv dengan koper dan tas oleh-oleh untuk Ibu.

"Buseet. Banyak amat?"ia melihat koper yang kubawa. Dengan printilan dos berisi kerupuk untuk Ibu.

"Kan .... "ucapku yang terputus karena Dira. "Kita hanya sehari. Kamu bawa segini banyaknya."tatapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala.

"Ku kira kita akan lama."wajahku berubah cemberut. Membuat Dira hanya tertawa melihatku.

"Akan lama, jika kita terjebak lagi di Vila. Hahahaha .. " ia tertawa dengan lantang. Membuatku jadi tak ingin ikut dengannya.

"Jika mengungkit masa lalu. Aku ngga akan mau ketemu sama kamu!"seruku kesal.

"Baik."tangannya membungkam mulutnya. Lalu duduk lagi di sofa dan menungguku selesai membereskan rumah.

...
Jam 20.00
Berangkat dengan Dira. Kembali ke Jogja menemui Ibu, bisa jadi aku dan dia akan mengingat lagi setiap kenangan disana. Saat melewati jalanan yang sama, dan rumah yang sama. Laki-laki itu berusaha mengingatkanku dengan kenangan. Entah, apa yang ia inginkan jika aku kembali membuka hati untuknya.

Dia tak bisa memaksa masuk lagi kerelung rasa yang tersimpan rapi. Dia belum menemukan detak jantung yang berdenyut kencang saat aku bersamanya. Sama ketika dulu, jantungku selalu berlomba memompa darah dengan cepat saat aku dekat dengannya.

Tentang Kita (sequel Dari Tentang Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang