Rasa yang Hampir Mati

28 9 29
                                    

Dia menghampiriku dengan wajah lusuh. laki-laki itu langsung bersimpuh di kaki ku yang melengkung. Suara tangisan yang kalah dengan rintihan kuntilanak bergema di gendang telinga.

"Maaf," sudah berapa kali ia ucapkan kata-kata itu dalam satu hari. Aku, hanya terdiam tanpa mau menatapnya.

"Rinjani." Tatapnya dengan manik mata berkaca-kaca. Hingga bulir air menetes deras membasahi kedua pipinya.

"Sudah berapa kali kamu meminta maaf hari ini Dir!" Seruku.

"Aku salah,"ucapnya dengan kepala bersandar di kedua kaki yang hendak berdiri.

"Jika kamu ikan, jangan ikut lomba terbang. Jika kamu Burung jangan mau disuruh menyelam!"  Ucapku menutup rasa yang ku bendung sedari pagi.

"Apa maksudnya?" Tanyanya dengan mata memerah.

"Kamu akan mengerti Dir, berfikirlah jernih jika ingin mengartikannya!" Ku tinggalkan dia yang duduk bersandar dibatang pohon. Lalu, aku kembali ke dalam mobil dan merebahkan kursi ke posisi tidur. Setidaknya aku bisa mengistirahatkan otak yang sudah lelah.

°°°°°

Setelah satu jam, Dira datang di sampingku. Dengan baju yang basah karena hujan yang turun, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat dengan bibir memutih.

"Ayo pulang," ajaknya dengan suara bergetar kedinginan.

"Dir." Aku memegang ke dua pipinya yang hangat, rasa khawatir datang mengetuk hatiku yang marah.

"Ayo pulang," ajaknya, ia duduk di kursi kemudi sesekali menundukan kepala untuk menetralkan suhu dingin dari luar.

"Ganti baju dulu." Ku ambil sehelai kemeja dari bagasi belakang, hujan yang deras membuat bajuku sedikit basah.

"Buat kamu aja, bajumu basah!"serunya, ia menepis baju yang ku pegang.

"Sekarang ganti bajumu!" Ku buka satu persatu kancing bajunya, ia tetap menolak menggantinya dengan yang kering. "Dir!" Hentakku, menggenggam pipinya yang merah. "Kalau tidak kamu pakai, aku akan turun!" Gertakku.

Akhirnya ia mau menuruti apa ucapanku, suhu badannya berubah menjadi panas. Bibirnya bergetar sedangkan aku menghangatkan laki-laki itu dengan ke dua tangan mengatup menutupi jemari dinginnya.

"Jangan menyembunyikan apa-apa lagi." Tatapnya dengan mata yang sayu.

"Nanti kita bahas di rumah." Pintaku.

"Biarkan aku istirahat sebentar," ucapnya sembari mengatur posisi kursi. Ia tertidur dengan bibir putih yang pucat, badannya menggigil kedinginan. Sedangkan aku hanya berani menatap wajah nya saat terlelap.

Hari semakin larut, langit gelap datang dengan sedikit penerangan. Jalanan desa terlihat menakutkan saat malam. Aku hanya mengerutkan gigi sembari mengawasi suasana yang sepi "ini dimana?" Gumamku.
  Aku sedikit bergetar saat seseorang mengedor jendela belakang, pria berumur 30 tahunan dengan baju lusuh dan tawa melengking terdengar di gendang telinga.

"Dir, bangun!" Suaraku sedikit berteriak dekat dengan daun telinganya.

"Kenapa?" Ia terperanjat karena suara keras yang ku bisiikan.

"It..u ada orang dibelakang," ucapku terbata-bata.

"Sebentar aku lihat." Dira bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan memutari mobil dengan kondisi hujan deras. Tiba-tiba"auh," suara rintihan datang dari bibirnya. Tubuhnya tergeletak di tanah, sedangkan perut kanan ada luka tusuk dengan darah merah keluar.

Tentang Kita (sequel Dari Tentang Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang