Dira mengejarku lagi setelah keluar dari ruangan pak Dermawan, mungkin ia tau bahwa hatiku sedikit tersakiti atas perkataan pak Dermawan.
"Rinjanii, berhenti !"suara lantang Dira membuat semua mata terpaku ke arahku, lalu langkahku berhenti untuk menjawab panggilan itu. "Ya," jawabku singkat, ku atur nafas panjang untuk menenangkan suasana hati. Namun, tak bisa menyembunyikan mata yang berbinar hampir menangis.
"Aku...." ucapnya terputus
"Cukup Dir, kita pisahkan masalah pribadi dengan kerjaan kita masing masing, seharusnya kamu paham itu,"timpalku, lalu aku berjalan meninggal kan Dira yang masih berdiri mematung.
"Rinjani !" Lagi lagi Dira memanggilku dengan suara lantangnya. Mataku meruncing kesal melihat sikapnya itu.
"Dir, please !" Ku tatap wajahnya dengan penuh harap. Agar ia paham dengan perasaanku saat itu. Tetapi, ia hanya menggenggam jemariku. Membuat aku memberhentikan langkah yang sudah jadi tontonan orang sekitarku.
"Aku, maaf kata kata ayah tadi. Aku hanya ngga mau kamu jadi salah paham karena nya."
"Aku paham, tolong jangan ganggu aku dulu. Biarkan aku meyelesaikan pekerjaanku,"pintaku. Mencoba melepaskan jemari yang mencengkram lenganku.
"Baik." Dira pergi meninggalkanku, pergi dengan raut wajah kesal. Ku abaikan langkahnya dan kembali ke meja kerja untuk menyelesaikan tumpukan berkas yang berserakan.
~~°°°~~
Senja datang membuat lembayung cantik dengan goresan warna orange bergradasi merah muda dilangit. Membuatku bergegas keluar kantor untuk menemui Putri. Teman perempuanku yang berkerja di club malam tak jauh dari kantorku.
"Hai, aku tunggu di taman ya," kataku, memberi pesan singkat kepada Putri. Namun tak ada jawaban darinya. Membuatku menunduk sembari melihat layar handphone berulang kali.
Hanya perempuan itu yang selalu datang ketika Dira meninggalkanku, betapa hancur perasaanku saat itu. Aku tak bisa menahan rindu sewaktu ia jauh di negri sebrang. Ketika aku begitu marah walaupun aku bilang padanya bahwa aku menunggunya pulang. Ternyata, aku tidak baik baik saja tanpanya, bahkan alasan itu yang membuatku tak ingin bertemu dengannya, tak ingin berbicara saat ia ingin mendengar suaraku.
Aku berjalan sembari memikirkan semua hal itu. Semua hal yang membuatku harus terpuruk menanti nya datang, hal yang membuatku bangkit lagi setahun sebelum Dira kembali mengacaukan pikiran dan hatiku.
"Hai," sapa nya, gadis yang tetap cantik seperti saat kita masih usia remaja .
"Putri, sudah lama menunggu ?"tanyaku, ia hanya menjawab dengan gelengan kepala pertanda ia baru saja datang.
"Sini duduk." ia memberiku sekaleng bir rendah alkohol, kali ini dia paham jika Dira kembali. Dan bisa saja tiba-tiba muncul menghamburkan kesenangan.
"Tumben kasih yang rendah alkohol?"tanyaku, bolan mataku menatap wajahnya yang hanya melemperkan senyum melengkung ke arahku.
"Dira, pangeran kuda putihmu sudah kembali,"ucapnya, ia duduk sembari meneguk bir yang ia pegang di tangan kanannya.
"Iya, maaf soal kemarin," tatapku.
"Aku seharusnya berterimakasih, kalau ngga ada kamu. Aku bisa habis sama pria hidung belang itu. Hahaha," candanya, membuatku tertawa di tengah langit yang sudah berubah menjadi biru tua.
"Tapi, kamu ngga perlu khawatir, dia sudah berubah !"seruku meyakinkannya. Saat Bibirku meneguk Bir yang ku genggam.
"Berubah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita (sequel Dari Tentang Rasa)
RomansaSetelah empat tahun lamanya. tanpa ingin menyapa ketika kamu ingin bertemu, hanya mendengarkan suaramu tanpa berbicara dan melihatmu dari kejauhan saat kamu datang mengujungi rumah saat itu. Ya, walaupun Ibu selalu menyuruh mu duduk di teras. Aku ha...