Dago

62 11 0
                                    

Tadi malam lagi-lagi aku tidak bisa tidur. Pikiranku melayang jauh dari tempatku merebahkan diri. Foto yang dikirimkan Dimas berhasil mengalihkan perhatianku dari Anne yang terus berceloteh tentang bosnya yang super galak. Anne mendengus setelah mendapatiku tidak benar-benar mendengarkan ceritanya.

"Yodah gih lu tidur lagi. Mata lu celong banget, Kir," Anne berkata dan berdiri mengambil cemilan.

Aku membalikkan badan. Tidak sampai hati aku melihat foto itu lagi.

~~~

Suara klakson motor terdengar nyaring di depan gerbang rumahku. Anne sudah pergi sejak pagi tadi, dan kini aku melangkah keluar rumah tanpa perlu pamit kepada siapa pun. Gilang dengan motor besar hitamnya telah begitu siap untuk memboncengku. Aku tak bisa menahan senyumku.

"Hai.. apa kabar? Udah sembuh kan?" Punggung telapak tangan Gilang menyentuh dahiku, aku mundur.

"Udah Lang," jawabku.

"Syukur deh. Naik," Gilang menyuruhku untuk duduk di jok belakang dan aku menurutinya. Ia menyalakan mesin motor, aku membetulkan resleting jaketku.

Gilang memutar balik motornya. Aku membuang nafas ketika kami melewati rumah Raka.

Seperti biasa, sepi.

Tidak ada kabar apa-apa lagi dari Raka semenjak ucapannya kemarin. Dan semilir angin Bandung di sore hari tidak bisa mengalihkan pikiranku dari ucapan itu.

Jika memang benar Raka memiliki perasaan padaku, pastinya ia akan sakit hati melihatku jalan bersama Gilang. Dan perkiraanku, Raka tidak begitu bersimpati padanya. Hal itu terlihat dari sikapnya ketika Gilang mendekatiku di sekolah.

"Kir kok diem aja?" Tanya Gilang membuatku terlonjak. "Pusing gak?"

"Enggak kok Lang. Tenang aja. Cuman nikmatin suasana," jawabku tak sepenuhnya jujur.

"Kalo pusing bilang ya. Biar aku anter kamu balik," ucap Gilang lembut.

"Ya, Lang..." kataku.

Motor memasuki kawasan jalan raya. Aku semakin merapatkan jaket ke tubuhku.

"Lang btw kita mau kemana?" Tanyaku, meyakinkan kembali apakah kita jadi pergi ke cafe di Dago atau lebih jauh dari itu.

"Kita jadi ke Rico Resto, ya," jawab Gilang membuatku menghela nafas lega. Syukurlah kalau tidak mendatangi tempat lain.

Aku menatap jalanan yang lumayan sepi. Mungkin orang-orang akan keluar rumah ketika sudah malam hari.

"Kir..." Panggil Gilang di tengah perjalanan.

"Ya?"

"Kamu sama Raka udah temenan berapa lama?" Tanya Gilang. Nadanya berubah datar.

Aku tercenung. "Dari kelas 5 SD. Kenapa gitu?"

Kepala Gilang menggeleng dari dalam helmnya. "Deket banget soalnya. Kirain pacaran."

Aku tertawa kecil, "Sahabatan." Berat sekali rasanya mengatakan hal itu. Mengingat Raka baru saja mengungkapkan perasaannya secara tiba-tiba, tak ada angin tak ada hujan, tak ada tanda-tanda ia akan bicara seperti itu. Raka terlihat tak menyukaiku. Maksudku, sikapnya sama seperti sejak pertama kita kenal. Hanya saja akhir-akhir ini memang nada suaranya lebih lembut dan tidak terlalu banyak berkata sumpah serapah kepadaku.

"Kir?" Gilang memanggilku lagi.

"Ya?" Jawabku.

"Kamu pernah jatuh cinta gak?"

Pertanyaan Gilang seperti menyambarku. "Pernah Lang."

"Eh iya Dimas kan?" Tanya Gilang.

"He-em," ujarku. Gilang seperti menarik perhatianku dengan basa-basi yang sebenarnya tidak perlu.

RULE #1 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang