Aku terbangun satu jam lebih awal. Menyebalkan sekali ketika ponselku entah bagaimana tetap menyala dan menyetel lagu pop selama semalaman. Aku mematikan tombolnya dan untungnya daya baterai masih setengah penuh.
Aku menurunkan kaki dan menyentuh lantai kamar yang dingin. Aku mengambil jaket berbuluku di pintu dan melangkah keluar rumah sambil membersihkan mata dari makhluk-kecil-putih yang bisa mengurangi kesegaran pagiku.
Ada satu kursi malas di teras tapi aku memilih untuk duduk di lantai saja, dengan kaki menjuntai ke bawah dan menginjak rumput yang basah. Ternyata tadi malam hujan dan tentu saja aku tidak menyadarinya.
Aku memeluk tubuhku, meniup embun pagi Bandung yang luar biasa membekukan. Ini kondisi yang terkenal dengan masa hantu keluar jam malam. 3 a.m., orang bilang.
Bulu kudukku tiba-tiba saja meremang. Aku bergidik, bukan karena merinding, tetapi karena kedinginan. Aku tak pernah takut dengan hantu dan sebangsanya. Harus ada seseorang yang amat kusegani untuk membuatku percaya dengan takhayul seperti itu. Tapi sampai saat ini tak ada orang yang bisa kusegani, bahkan guruku sendiri.
Aku membetulkan rambut di dahiku dan mendengar suara semak-semak yang bergerak di pagar kiri rumahku. Aku memicingkan mata untuk melihat apakah ada kucing yang ribut sendiri menggali tanah untuk buang kotoran.
Tapi, semak-semak itu semakin berisik dan aku berdiri merasa was-was. Ada hal yang lebih mengerikan dari hantu. Mereka tidak bisa membunuh. Dan manusia memungkinkan untuk menyandang gelar pembunuh dengan datang subuh-subuh buta ke rumah seorang gadis enam belas tahun yang sendirian dan tak punya teman.
Aku melangkah mundur untuk masuk kembali ke dalam rumah secepat yang kubisa. Lalu aku menutup pintu berusaha untuk tidak terdengar ketakutan dan menguncinya. Dan pada saat aku berbalik untuk melihat ruang tamu, lampu di rumahku mati total. Tapi aku masih bisa melihat cahaya remang-remang di luar rumah, yang itu artinya lampu tetanggaku tidak mati.
Seseorang mematikan saklarnya.
Aku menyentuh kunci pintu untuk bersiap kabur, dan seseorang yang berdiri di belakang rak piring itu semakin memastikan bahwa ada orang perampok di rumah ini. Orang itu masih diam, dengan tudung jaket hitam yang menutupi kepalanya.
Aku membuka kunci perlahan di belakang punggungku dan bunyi klik pelan bisa menyelakakanku tapi aku tetap melakukannya dan membuka pintu sekaligus lalu berteriak sekencang-kencangnya.
"TOLOOOOONGGG!" teriakku sambil berlari menginjak rerumputan licin. Suaraku menggema di tengah lelapnya warga sekitar.
Aku berdiri di tengah jalan yang baru saja di aspal dan bau seperti karet yang dipanaskan masih tercium.
Lalu seorang wanita bertubuh gemuk, Bu Ira membuka gerbang dan berlari ke arahku dengan panik.
"Gusti neng ada apaa?" tanyanya panik, aku langsung memeluknya sambil ketakutan.
Tetanggaku yang lain berhamburan keluar dengan membawa tongkat bisbol dan semacamnya.
"Ada perampok di rumah... Dua orang," ucapku lirih dengan mengisyaratkan dua jari kepada salah satu bapak-bapak yang menghampiriku, dan orang dewasa lainnya memeriksa rumahku. Lalu aku melanjutkan, "Pakai jaket hitam. Tadi berdiri dibalik rak piring deket dapur.
Bu Ira menutup mulutnya. Seketika sekitarku panik, dan aku menatap rumahku yang tak bertingkat dan tak terlalu besar lampunya mulai menyala sekaligus.
"Kirana?" Raka memanggilku. Aku melepaskan pelukanku dari tubuh Bu Ira dan berlari ke arahnya. "Kirana kamu gak apa-apa? Aku denger ada yang teriak."
"Gw gak apa-apa, Ka..." jawabku sudah mulai agak tenang.
Raka menoleh menatap rumahku yang masih ramai. Aku terdiam heran karena menyadari bahwa Raka memakai aku-kamu. Mungkin dia tidak sadar.
Raka mengeluarkan embun dari mulutnya yang tipis dan terlihat pecah-pecah. Aku langsung berpikir kemarin ia mungkin memakai lip balm karena bibirnya sedang tidak sehat.
Pak Reza, tetangga sebelah kiriku keluar dengan membawa tongkat bisbol dan secarik ketas yang diperlihatkan kepada kami di tangan yang satunya lagi.
"Neng Kirana, kayaknya rampoknya udah kabur. Gak ada tanda-tanda kerusakan rumah. Cuman tadi bapak nemu ini di kursi tv," kata Pak Reza melangkah menujuku sambil menyerahkan kertas yang terlipat-lipat sedemikian rupa.
Raka, Bu Ira dan yang lainnya mendekat selagi aku membuka kertas tersebut.
Hi, Kirana.
This is your life code 560417

KAMU SEDANG MEMBACA
RULE #1 [COMPLETED]
Ficção AdolescenteKirana harus menghadapi teror merugikan yang terjadi setelah ia mengakhiri hubungannya dengan Dimas, cinta pertamanya. Teror itu berlangsung selama berhari-hari dan sangat menyiksanya. Gilang, sang KM kelas yang sedang mendekati Kirana menjadi tersa...