"Kirana!" bentakan Bu Devi membuyarkan lamunanku.
"Eh iya Bu?" aku tersadar. Bu Devi memicingkan matanya.
"Sedang memikirkan apa, kamu?" tanyanya cetus. Adrenalinku berpacu.
"T-tidak, Bu. Maaf," ucapku gelagapan. Bu Devi hanya mendelik khasnya lalu kembali menjelaskan soal fluida statis di papan tulis.
Aku membuang nafas melalui mulutku, merasa lega karena tidak ada pertanyaan darinya yang bisa memperlakukanku di depan seisi kelas.
Pikiranku masih belum lepas dari kertas dan kode yang ada di dalamnya. Seseorang menyimpan benda dan tulisan itu pasti bukan tanpa tujuan. Aku takut semenjak kejadian tadi malam seseorang sudah mulai menjalankan aksinya untuk menerorku, lalu mencelakakanku secara perhalan.
"Ppsstt!" seseorang berdesis. Aku berbalik dan mencari sumber suara ke arah kanan. Lily menunjuk ke sebelah kiriku dan aku melihat Raka sedang memperlihatkan secuil kertas di tangannya yang disembunyikan di bawah meja.
"Apa?" tanyaku tanpa menimbulkan suara.
Raka memberikan kertas itu kepadaku sambil sesekali melirik waspada kepada Bu Devi yang sibuk menulis materi dengan membelakangi kami.
Ketika kubuka, kertas itu bertuliskan,
Kir ti ati. Si Gilang bawa bunga.
"Hah?" gumamku.
Aku menoleh kembali pada Raka dan ia hanya menaikkan alisnya. Aku melirik Gilang yang ada di bangku paling depan, dan ia tampak serius menulis.
Akhirnya, pelajaran fisika selesai lima belas menit kemudian. Rasanya, Bu Devi mempunyai kekuatan untuk membuat jam di kelasku bergerak lebih lambat dari biasanya. Atau mungkin aku saja yang tak berminat pada pelajaran fisika.
Aku mengambil tas dan menghampiri bangku Raka.
"Mo nebeng gak?" Raka langsung bertanya sebelum aku mengatakannya.
"Tau aja," jawabku sambil terkekeh. Raka terus membereskan bukunya dan menegakkan badan ketika Gilang berada di belakangku.
"Napa, Lang?" tanyaku. Gilang si jenius hanya berdiri terpaku dengan kacamata minusnya yang kini ia lepas dan dimasukkan ke dalam saku seragamnya.
Gilang tak langsung menjawab dan hanya melirik Raka.
"Oh. Yodah Kir gw tunggu di depan kelas ye," kata Raka seolah mengerti sesuatu dan ia mengais tasnya melangkah keluar kelas.
Aku berdiri di depan Gilang yang terus memainkan bibir bawahnya.
"Napa si?" tanyaku heran dengan sikap anehnya.
Gilang menggeleng dan nampak berusaha tidak berani menatapku. Aku hanya menunggunya berbicara.
Baru kali ini aku berbicara dengannya, setelah dua tahun satu kelas. Ia adalah KM kelasku dan juara kelas. Sedangkan aku tidak pintar-pintar amat dan tidak mengambil jabatan apa pun.
"Aku..." Gilang mulai berkata dengan suara yang berat. Aku sedikit memiringkan kepala, menunggunya dengan sabar.
Aku lalu tertawa kecil, "Gilang. Lu kayak ke siapa aja pake aku akuan segala. Udah kalo ada yang mau diomongin bilang aja langsung. Jangan kek orang canggung gitu gimana si," komentarku panjang lebar.
Gilang pun menghela nafas. "Aku ada sesuatu buat kamu," lalu ia mengeluarkan setangkai bunga plastik dari saku belakang celananya.
"Apaan tuh?" tanyaku, sengaja membuatnya semakin tak karuan.
"Ini bunga," jawabnya polos.
"Iya tahu Gilang," jawabku sambil menahan tawa.
"Bukan bunga plastik, kok! Aku nanem sendiri di depan rumah. Aku tahu kamu suka bunga," ujar Gilang mulai berani menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
RULE #1 [COMPLETED]
Teen FictionKirana harus menghadapi teror merugikan yang terjadi setelah ia mengakhiri hubungannya dengan Dimas, cinta pertamanya. Teror itu berlangsung selama berhari-hari dan sangat menyiksanya. Gilang, sang KM kelas yang sedang mendekati Kirana menjadi tersa...