Asumsi Pertama

117 18 0
                                    

"Daah Kiranaaa!" Raka melambai padaku dengan sebelah tangannya selagi ia menggoes sepeda sambil berdiri, meninggalkan halaman rumahku. Aku balas melambai lalu menutup pintu rumah dan menatap karpet yang berserakan oleh sampah snack bekasku dan Raka.

Aku menghela nafas, menurunkan bahuku dan berjalan gontai untuk memungut satu demi satu plastik makanan ringan dan kaleng-kaleng minuman.

Aku membereskan semua barang ini dengan pikiran yang tak bisa lepas dari Dimas. Walau aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya, tapi tetap saja ia adalah cinta pertamaku di SMA dan pasti perlu waktu yang tidak sebentar untuk melupakannya.

Dan dimataku ia berbeda. Aku tak tahu persis mengapa ia terlihat lebih tampan dan lebih keren dari teman-teman cowokku yang lain. Lebih pintar, padahal dalam hal akademik ia tak lebih hebat dari Raka dalam semua mata pelajaran.

Aku sudah memiliki rasa tertarik dengan Dimas sejak masa orientasi siswa karena ia tak sengaja menubrukku dan kertas psikotesku berhamburan jatuh. Ia membantuku membereskan semua itu dan meminta maaf. Dan hal pertama yang kuperhatikan adalah gaya rambutnya yang kekinian dan rahang tegas khas tokoh cerita teenlit remaja. Ah, memang berlebihan saja mataku waktu itu.

Dan hubungan pertamaku dengan dia memang agak aneh awalnya. Ia menembakku--maksudku dia bersandiwara seolah aku menembaknya dengan membawa pistol mainan dan memberikannya padaku ketika ia sedang berlarian di koridor. Aku menerima pistol itu dengan bingung, lalu ia memintaku untuk berpura-pura menembak dadanya. Dan aku malah menurut dan tiba-tiba ia berteriak, "AKU MAU JADI PACARMU!!"

Orang-orang di koridor menertawakan kami, tetapi aku tersipu setengah mati karena tak percaya apa yang baru saja kusaksikan.

Sejak hari itu kami berpacaran hanya bertahan kurang dari tiga minggu.

Baru kini kusadar bahwa aku mencintainya bukan karena sifatnya yang baik terhadapku ataupun kepada semua orang. Aku hanya menyukainya hanya karena ia keren, dan astaga itu gagasan yang buruk yang baru kusadari sekarang.

Dulu aku sering sekali memujinya di depan teman-teman dekatku, termasuk Raka. Walau sewaktu-waktu aku sering diprotes oleh mereka mengapa aku mau dengannya yang berwajah garang, sok asik dan tak ramah. Lagi-lagi, aku hanya menjawab bahwa ia sebenarnya baik, kok bahkan sempat berkata, cinta gak memandang wajah.

Tapi nyatanya Raka mampu menguak bahwa pergaulan Dimas tidak cocok denganku yang anak rumahan dan jarang bergaul. Raka sempat memergoki Dimas sedang mengisap Marlboro di belakang sekolah dan sayangnya dia tidak sempat memfotonya. Lalu aku tak langsung percaya dan jika itu memang benar, aku menganggap hal itu wajar karena Dimas anak laki-laki yang keren. Tapi semakin sini, Raka terus mengirimku foto Dimas yang sedang balapan motor, pergi ke pub dan Dimas yang memposting status WhatsApp sedang mengisap cigarette namun aku dikecualikan dari daftar penontonnya. Jadi aku meminta putus dengan Dimas secara sepihak, dan Dimas hanya mengangkat bahu dan berbalik begitu saja. Tetapi ia berbalik lagi padaku dan berkata, "Kita belum selesai."

Awalnya aku tak menganggap itu sebagai ancaman, tetapi setelah dua hari aku putus dengannya, aku jadi merasa takut untuk kalimat itu. Aku takut Dimas memiliki dendam atau apalah. Dan yang harus kulakukan sekarang adalah menjaga diri dan sebisa mungkin tidak berpapasan dengan Dimas di sekolah.

"Bego emang," gumamku jijik memikirkan asumsiku dulu yang salah besar untuk Dimas.

Dan aku sangat menangkap ekspresi Raka yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya ketika aku berkata bahwa aku putus dengan Dimas. Matanya berbinar dan ia tampak lebih sering tertawa dibanding kemarin-kemarin.

Aku dan dia sudah bersahabat sejak lama dan rumah kami hanya terpisah tiga rumah. Raka adalah anak laki-laki yang sederhana dan tidak neko-neko. Kami sudah berteman sejak SD, lalu berpisah ketika SMP, lalu satu kembali satu sekolah setelah berhari-hari terus berdebat apakah akan masuk sekolah asrama di luar kota atau tetap masuk SMA Darius di kota kami.

Raka senang naik sepeda, dan aku tidak terlalu senang berolahraga. Raka lebih tua dariku empat bulan, tetapi kedewasaannya seolah membuatnya menjadi seorang kakak bagiku.

Sejujurnya aku tak terlalu tahu bagaimana latar kehidupannya, karena ia tidak terlalu terbuka soal itu. Dan dia selalu menawarkan diri untuk bermain di rumahku sebelum aku yang meminta untuk berkunjung ke rumahnya.

Apakah Raka menyembunyikan sesuatu dariku? Berulang kali aku memikirkan hal yang sama. Tapi buru-buru kutepis pemikiran itu karena tak ingin berprasangka buruk padanya.

Tak terasa, beres-beres sambil melamun membuat pekerjaan selesai lebih cepat. Aku pun memutuskan untuk pergi tidur agar mendapatkan jatah istirahat lebih lama karena besok hari Senin yang panjang dan melelahkan.

Aku punya kemampuan untuk tidur terlelap selama belasan jam tanpa terbangun. Dan mungkin aku akan melakukan kebiasaan harianku ketika bangun pada jam 4 subuh esok hari : duduk di teras rumah sambil memikirkan bagaimana aku mempersiapkan dan mengumpulkan bekal untuk kematianku sendiri suatu hari nanti?

RULE #1 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang