Rabu

74 14 2
                                        

Aku baru saja menghabiskan makan siang bersama Bu Ira yang menceritakan banyak hal. Mulai dari kebahagiaannya ketika masih memiliki keluarga, hingga kehilangan satu persatu anaknya yang dipanggil Tuhan. Bu Ira orang yang sangat baik, dan beliau berhasil membuat pikiranku teralihkan serta membuatku lebih bersyukur untuk hidupku.

Aku masih terjaga pada pukul dua belas karena kegerahan. Aku menatap jam dan membuang nafas. Mataku sudah berat, dan aku sudah cukup lelah dengan semua yang terjadi hari ini. Aku menatap langit-langit kamar yang membentuk bulatan-bulatan besar acak bekas bocor karena hujan. Aku memikirkan bentuk yang berantakan itu sebagai awan datar berwarna kuning tanpa arti. Lalu aku mulai membayangkan wajah domba, menghitungnya dan tertidur.

                                   ~~~

Hari ini hari Rabu yang dingin. Aku tidak melakukan ritual bangun subuh selama menginap di rumah Bu Ira. Aku terlelap dan bangun pada pukul setengah enam pagi dan langsung bersiap untuk pergi ke sekolah.

Seperti biasanya, Bu Ira menyiapkanku sarapan. Kami makan bersama dengan mengobrol mengenai sekolahku, dan untungnya tidak menyinggung soal nilai  pelajaranku.

Ketika aku meminum air putih hangat, suara bel sepeda terdengar di depan gerbang. Aku langsung tahu siapa yang membunyikannya, jadi aku langsung menyalami Bu Ira dan pergi bersama Raka ke sekolah.

Di sepanjang jalan, kami tidak banyak berbicara. Aku hanya menaruh kedua tanganku di kedua bahunya dan Raka hanya bersenandung kecil.

Sampai di sekolah, tak ada hal yang istimewa dan Gilang tersenyum padaku ketika aku memasuki kelas. Aku membalas senyumnya tanpa benar-benar tersenyum, dan batuk berjamaah terdengar lagi.

"Ribet banget lu pada!" Ujarku pada mereka semua. Tapi ucapanku malah mengundang batuk mereka semakin parah. Aku tidak menghiraukan dan lebih memilih untuk duduk di bangkuku dan melamun.

Besok Kamis. Itu artinya mau tidak mau aku harus tes lisan biologi padahal tidak sedang ada jadwal ulangan. Dan besok Kamis. Berarti hukuman menyusun buku-buku biologi di perpustakaan akan benar-benar menyiksaku.

Aku mengusap kedua pelipisku yang kini terasa pening. Sebuah tangan memegang bahuku dan aku menoleh.

"Lu sakit?" Raka bertanya.

Aku mengucek sebelah mataku, "Cape aja, Ka."

"Pulang aja, ya?" Tanyanya lembut.

Aku menggeleng, "Gw kuat kok sampe akhir pelajaran."

"Bohong banget. Lu pucet tau!" Raka bersikukuh. Aku hanya tersenyum tipis dan Gilang menghampiriku. Raka menggenggam bahuku semakin erat.

"Kamu sakit?" Gilang bertanya dan aku hanya menjawab hal yang sama seperti kepada Raka.

"Aku antar ke UKS ya," tawar Gilang. Dehaman-dehaman terdengar lagi.

"Enggak usah, Lang. Gw gak apa-apa. Cuman cape doang," jawabku berusaha meyakinkannya, sekaligus meyakinkan Raka.

Raka melirik Gilang tak suka, dan ia menyadarinya. Gilang pun memutuskan untuk kembali ke bangkunya lagi setelah berkata GWS padaku.

Raka masih ada di sebelahku, berdiri dengan tangannya yang berada di bahuku. "Kir.. boleh gw minta screenshotan nomor yang kemaren?" Bisiknya.

Aku mengeluarkan ponsel dan langsung mengirimkan gambar yang dimaksud Raka. Raka mengerutkan dahinya di depan ponselnya, mengingat-ingat apakah ia tahu nomor itu.

"6285893560417," ucap Raka pelan. Aku terperangah. Raka membuka mulutnya.

"Kodenya!" Ucap kami bersamaan.

RULE #1 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang