Aku keluar gerbang dengan wajah yang kusut. Tapi, baru beberapa langkah aki berjalan, Raka menghadangku dengan sepedanya.
"Pulang sama gw aja, Na," katanya sambil menarik-narik lengan seragamku. "Biar cepet istirahat."
Aku pun mengiyakan lalu aku berdiri di footstep belakang. Raka mulai menggoes, aku memegangi bahu Raka supaya tidak terjatuh walau aku tahu tak akan ada gunanya.
"Hari ini masih nginep di rumah Bu Ira?" Tanya Raka.
"Kayaknya besok pulang," jawabku singkat.
"Ok beb," ujar Raka mengundang pukulan dari tanganku di bahu kanannya.
"AW KIRANA SAKIT! BISA GAK SIH GOSAH NGEGEBUG?!" Teriak Raka. Aku tertawa keras sampai telingaku sakit.
"Yamaap. Abis lu manggil gw beb," jelasku. Kudengar Raka mendengus.
"Emang salah?" Tanyanya.
Aku diam sejenak, "Ya enggak sih. Aneh aja."
Raka tidak merespon. Jadi aku bertanya, "Lu marah?"
Dia menjawab, "Enggak."
"Bohong," sanggahku.
"Bener sayang," kali ini pukulan telak mendarat di bahu kirinya. "KIR GAK LUCU!"
"Elu yang gak lucu, hoplah!" Kataku gusar.
"MENIII! Kan dari dulu lu dah pernah bilang kalo gw bebas mau manggil lu dengan sebutan apa aja... Makanya jan protes kalo gw manggil lu sayang!" Ucap Raka penuh emosi.
"Gak usah nge-gas kali!" Ujarku. Raka hanya bergumam sebal dan tak terasa, akhirnya kami sampai di depan rumah Bu Ira. Aku turun dengan suasana hati yang sudah agak membaik. Raka memang jago membuat moodku kembali ceria.
"Gw sebenarnya pen main. Tapi ini rumah Bu Ira, gak enak juga. Nanti malah disangka yang enggak-enggak," jelas Raka. Aku mengangguk paham.
"Iya Ka, makasih buat tebengannya," kataku tersenyum. Raka memiringkan kepalanya, menatapku dengan cermat.
"Napa Ka?" Tanyaku merasa risih.
"Geulis," jawab Raka. Sebelum aku memukulnya lagi, ia tertawa terbahak-bahak dan buru-buru membelokkan sepedanya. Aku hendak mengejar tetapi ia sudah dulu menggoes sambil berdiri. Ia melaju lalu memutar badan dan menjulurkan lidahnya padaku. Dan sepersekian detik polisi tidur di depannya membuat sepedanya oleng dan ia terjatuh tepat di depan gerbang rumahnya.
Aku menutup mulut, antara menahan tawa dan terkejut. Aku pun berlari menghampirinya yang kini tiduran di atas jalanan komplek.
"Raka lu gak apa apa?" Aku panik, menghampirinya lalu membantunya berdiri. Sepedanya tergeletak begitu saja dengan roda belakang yang masih berputar pelan.
"Aduh.." ringis Raka. "ELU SIH!" Ia mencubit lenganku.
"KENAPA NYALAHIN SAYA?!" teriakku.
"Au ah. GARA-GARA ELU!" Ucap Raka sambil mengusap-usap lututnya.
"Lecet gak?" Tanyaku. Raka hanya mengerucutkan bibir sebal. Aku mendengus. "Yaudah maaf atu.."
Raka melirikku sambil tersenyum. "Iya gapapa."
"Beneran?" Tanyaku meyakinkannya, takut ia marah.
"Iya.." lalu ia melanjutkan, "...beb"
Aku tak memukulnya dan hanya terkekeh mendengarnya memanggilku dengan sebutan itu. Raka membersihkan celananya dari tanah dan aku menatap rumah Raka yang berwarna putih dengan jendela-jendela besar khas rumah belanda. Aku memerhatikan halaman, teras dan temboknya. Semua tidak ada yang mencurigakan sampai aku bertanya, "Kapan gw bisa main ke rumah lu?"
Raka berhenti membersihkan bajunya. "Uhh.. ntar aja ya."
"Kok gw gak boleh ke rumah lu sih? Kan gw sahabat lu," ujarku penasaran. Raka hanya tersenyum tipis.
"Kapan-kapan ok?" Raka bangkit dan mengambil sepedanya, aku masih duduk di atas jalan.
"Kenapa? Apa ada yang lu sembunyiin dari gw? Gw padahal bisa dipercaya loh Ka.." kataku ikut berdiri.
Raka menatap wajahku serius lalu menepuk-nepukkan tangannya ke stang sepeda. "Lu gak akan ngerti."
Aku mengernyit, "Ya iyalah gw gak akan ngerti orang lu belum ngejelasin apa-apa."
Raka menaikkan alisnya. Aku pun bertanya dengan hati-hati, "Lu gak lagi ada masalah keluarga, kan?"
Raka langsung menggeleng sambil mengerutkan dahi, "Enggak kok. Puji Tuhan gak ada masalah di keluarga gw mah."
Aku tersenyum senang mendengarnya. "Yaudah deh syukur kalo gitu. Gw pulang dulu ya..." Aku berbalik, sengaja menghentikan percakapan karena aku bukan tipe orang yang senang mengorek rahasia orang lain.
"Mau dianterin gak?" Tanya Raka.
Aku menoleh ke belakang. "Etdah gak usah."
Raka tertawa sambil mengangguk. Aku pun berjalan dan membuka pintu gerbang rumah Bu Ira. Raka masih diam di sana, di depan rumahnya dengan menggenggam erat sepeda. Ia memastikanku sampai dengan selamat.
Aku melambai, Raka pun membalas dan kami sama-sama masuk ke dalam halaman rumah.
Aku yakin Raka menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa. Tetapi yang pasti, aku percaya jika seseorang menyembunyikan sesuatu pasti akan ketahuan juga pada akhirnya. Aku terpaksa harus bersabar sedikit, toh jika sudah waktunya lambat laun aku akan tahu. Kuharap bukan sesuatu yang negatif.
Raka adalah sahabat yang selalu menceritakan segala hal padaku. Tentang orang tuanya, kakak-kakaknya, pelajaran dan teman-teman. Kecuali satu hal. Ada apa di dalam rumahnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
RULE #1 [COMPLETED]
Novela JuvenilKirana harus menghadapi teror merugikan yang terjadi setelah ia mengakhiri hubungannya dengan Dimas, cinta pertamanya. Teror itu berlangsung selama berhari-hari dan sangat menyiksanya. Gilang, sang KM kelas yang sedang mendekati Kirana menjadi tersa...