PR Matematika

81 13 0
                                        

"Loh Kirana? Ngapain kamu ke sini?" Dimas sontak berdiri dan menatapku panik.

Aku berjalan ke arahnya dengan langkah cepat dan mantap. Ia menarikku untuk menjauh dari teman-temannya, dan aku langsung bertanya, "Jadi gini kelakuan kamu di belakang aku?"

Dimas menoleh ke arah teman-temannya yang terheran-heran melihat kedatanganku tanpa permisi.

"Kamu salah paham," ucap Dimas, bisa kucium aroma asap rokok dari mulutnya.

Aku membuang muka. "Salah paham apa lagi? Udah banyak bukti, Dimas. Kamu pernah bilang sama aku kalau kamu gak pernah bersentuhan sama zat-zat adiktif kayak gini. Dan sekarang apalagi? Judi?"

Dimas mengusap wajahnya. "Aku.. aku minta maaf soal itu. Maaf aku udah pernah bohong sama kamu soal ini. Aku... waktu itu kepaksa bohong biar kamu mau sama aku."

Aku mengangkat tangan untuk menyuruhnya berhenti berbicara. "Aku udah pernah omongin soal ini sama kamu. Ini udah keempat kalinya. Dulu aku masih sabar lihat kamu pergi ke pub dan kamu bilang gak bakal pergi ke sana lagi. Kemaren-kemaren aku ok ok aja kamu balapan motor sampe dikerjar polisi. Dan sekarang kamu mau ngeluarin uang buat kartu-kartu gak berguna itu," aku menghela nafas, menahan tangis. "Kamu tahu aku cuman pengen kamu baik di depan dan di belakang."

Dimas menunduk, tak berkutip. Ia tak tampak marah sama sekali. Dimas mendengarkan dengan saksama, seolah membenarkan apa yang aku katakan. Tapi aku tak mau terkecoh dengan ekspresi yang ia buat sedemikian rupa agar terlihat bersalah itu.

"Maaf, Dimas. Tapi.. aku gak bisa," ucapku kemudian. Dimas menengadah panik.

"Gak.. plis jangan bilang itu, Kir. Jangan bilang," Dimas memohon.

Walau berat kukatakan tapi aku harus teguh dengan pilihan dan pendirianku. Lalu aku berkata, "Kita putus."

Dimas terkejut. Ia hendak meraih tanganku tapi aku langsung menepis pelan.

"Aku gak pernah ngelarang kamu buat nongkrong ampe malem. Tapi gak gitu caranya," kataku.

"Kamu tahu kan kamu cinta pertama aku? Plis jangan hancurin hubungan pertama aku sama perempuan, Kir," Dimas terus mencoba untuk meraih tanganku dan aku terus menghindar.

"Benerin diri kamu dulu," kataku tegas, menatapnya.

Dimas menatapku cukup lama dan ia menelan ludah. Ekspresinya berubah menjadi keras.

"Ok, dear. Kalau itu mau kamu aku terima. Tapi inget, kita belum bener-bener selesai," ucap Dimas lalu ia langsung berbalik dan menghampiri meja dimana teman-temannya memegang kartu dan tertawa. Dimas dengan entengnya mengambil rokok yang masih menyala di asbak dan mengisapnya, padahal ia masih sadar aku belum beranjak dari tempatku berdiri.

Aku pun berbalik pulang sambil menundukkan kepala menahan rasa kekecewaan yang mendalam.

Lalu aku terbangun dengan mata sembab. Kutatap langit-langit yang sebenarnya bukanlah kamarku. Perlu mengerjap beberapa saat sampai akhirnya aku menyadari aku berada di rumah Bu Ira dan ini hari Selasa. Ada pelajaran matematika dan tugas bab tiga. Dan aku belum mengerjakan satu soal pun. Aku bangkit dan duduk di atas ranjang dengan mata yang super bengkak. Aku turun dari ranjangku dan mandi lalu keluar kamar untuk sarapan.

Aku sudah pasrah untuk dihukum di depan kelas oleh guru matematikaku.  Begitu menghampiri meja makan, Bu Ira menoleh panik.

"Neng Ira kenapa? Neng nangis?" Tanyanya panik.

Aku mengangguk lemas, "Iya, Bu. Instagram Kirana ada yang hack. Jadinya semua foto dan followers Kirana hilang. Padahal Instagram itu Kirana pake buat nulis puisi-puisi dari kelas 7," jawabku, menceritakan apa yang terjadi. Tidak semua, tentu.

RULE #1 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang