“Qia, hey ... Qia, lo dipanggil tuh,” bisik Rara sambil menyikut lenganku pelan. Aku terkesiap tersadar dari lamunanku. Suasana kelas hening. Semua mata tertuju padaku. Aku melihat Bu Ani mematung di depan kelas. Matanya memandang ke arahku. Entah apa yang ia katakan tadi. Kenapa ia memanggilku? Aku tidak mendengarnya. Aku pun tertunduk. Takut dan malu ....“Huuuu ... dia lagi melamun jorok tuh, Bu,“ teriak salah satu temanku.
“Dasar orang aneh! cuekin aja, Bu,” sahut yang lain.
“Enak aja dicuekin, hukum dong karena sudah nggak dengerin bu guru,” kata teman yang lain lagi.
Aku tak berani mengangkat kepalaku. Hatiku terasa diremas. Rasanya ingin menenggelamkan diriku ke bawah tanah. Kini seluruh teman sekelas melihatku. Kurasa tubuhku seketika menjadi ringan dan mengeciiiil sekecil debu. Aku ingin menjadi debu. Aku ingin tidak terlihat ....
Bu Ani menghampiriku. Ia memegang dagu dan membuat wajahku menghadapnya. Kulihat ia mengernyitkan dahi, “Qiara, sepulang sekolah nanti, ibu ingin bicara denganmu,” ujarnya lembut.
Aku menganggukkan kepala.
Tidak lama kemudian bel pulang sekolah berdering keras. Teman temanku berhamburan keluar kelas sambil bercanda dan tertawa. Kupandangi wajah wajah yang penuh senyum dan tawa itu. Segera kupalingkan wajahku. Aku tidak berhak iri pada mereka. Senyuman itu bukanlah milikku ....
Aku bergegas menuju ruang guru untuk menemui Bu Ani. Di depan ruang guru, aku mematung. Apa yang harus kulakukan? Aku bingung. Apakah aku boleh langsung masuk kesana? Bagaimana jika bapak dan ibu guru yang lain tidak berkenan aku masuk? Ah ya, ketok pintunya. Tapi gimana kalau bunyi ketokan pintu mengganggu? Aduh bagaimana ini? Akhirnya, aku hanya berdiri diam saja tidak jauh dari ruang guru sekolah. Aku serba salah. Aku takut salah ....
Namaku Qiara. Kalian bisa memanggilku Qia. Aku siswa SMP Negeri yang letaknya tidak jauh dari kediamanku. Sekarang aku duduk di kelas tujuh. Setiap hari aku berjalan kaki menyusuri jalan kecil menuju ke sekolah. Setiap jam istirahat sekolah, biasanya aku menyibukkan diri sendirian di kelas. Kenapa tidak ke kantin bersama teman teman? Hmmm, aku tidak suka suasana ramai. Kantin pasti berisik dan banyak orang. Selain itu, jika melihat makanan di kantin, perutku akan sulit diajak berkompromi.
Aku tidak biasa sarapan karena memang belum ada makanan di rumahku di pagi hari. Biasanya aku hanya minum air putih sebelum berangkat sekolah. Sepulangnya nanti dari sekolah, aku baru bisa makan di rumah. Mama selalu meninggalkan makanan di meja makan sebelum ia berangkat kerja. Jika mama tidak memasak, ia akan meninggalkan uang di meja makan supaya aku dapat membeli sebutir telur untuk makan siang. Aku bersyukur, meski mama sering marah dan memukuliku, tetapi ia masih memperhatikan kebutuhan makan siangku. Itu pun kalau mama tidak lupa.
***
POV. Bu Ani
Namanya Qiara. Ia sering melamun di kelas. Jarang sekali aku melihatnya tersenyum. Dari sorot matanya, aku tahu sebenarnya ia anak yang cerdas. Ia lebih sering diam dan menunduk. Rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan tergerai. Ia sangat penurut dan pemalu.
Hari ini kudapati ia melamun lagi di kelas. Tatapan matanya kosong. Bahkan ia tidak mendengarku yang memanggilnya berulang kali. Ada apa dengannya? Kulihat ada sedikit lebam di sudut bibirnya. Ah, Qiara. Ada apa denganmu, Nak?
“Qiara? Sejak kapan kamu berdiri disitu? Ayo masuk, Nak. Sejak tadi ibu menunggumu.” Aku terkejut melihat sosok Qiara yang mematung tak jauh dari ruang guru. Pantas saja sejak tadi dia tidak kunjung datang.
Aku menarik tangannya, ingin membimbingnya untuk masuk ke Ruang Bimbingan Konseling. Kurasa, kami membutuhkan ruangan yang lebih menjaga privasi. Aku ingin mengobrol dari hati ke hati dengannya. Tiba tiba ia sedikit meringis saat lengannya kutarik pelan. Segera kulepas lagi tangannya. Ada yang sakit kah?
***
Bersambung
A Story By Dev
Jangan lupa di vote ya 😁♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Qiara
Random(Peringatan : Tulisan ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu pengalaman traumatis ; saya sarankan tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan) NAMAKU QIARA Kisah ini bertutur tentang perjuangan seorang gadis berdamai dengan masa la...