POV. Bu AniIa hanya menunduk. Sebagian rambutnya menutupi wajah. Tubuhnya mungil dan kurus. Di lengannya yang tidak tertutup baju, terlihat beberapa bekas luka yang sudah mengering. Ia mengenakan seragam sekolah yang terlihat lusuh. Ini mengherankan.
Hmm ... mungkin ia memakai seragam bekas kakaknya? Apakah ia tidak mendapatkan bantuan pemerintah berupa kartu untuk menunjang pendidikan?
Ia duduk dengan gelisah di hadapanku. Tercetak jelas di wajahnya cemas dan takut. Tangannya bergerak gerak saling bertaut. Aku beringsut. Sengaja kuambil posisi duduk disampingnya. Aku ingin ia merasa lebih nyaman.
“Qiara ...,” kupanggil namanya sambil tersenyum.
Ia mengangkat wajahnya sekilas kemudian menunduk kembali. Tubuhnya seolah mengkerut. “Ah, Qiara. Ada apa denganmu? Apakah aku sangat menakutkan?”
“Bu, maaf. Qiara sudah salah,” ujarnya sangat pelan hampir tak terdengar.
Kusentuh tangannya. Telapak tangannya dingin dan berkeringat.
“Tidak apa apa, Qiara. Ibu hanya ingin bicara denganmu. Ibu tidak marah kok. Apakah Qiara mengira akan dimarahi?” tanyaku padanya sambil tersenyum. Ia mengangguk pelan.
“Qiara, tinggal sama siapa?” tanyaku hati-hati
“Mama” jawabnya pelan sekali. Hampir seperti berbisik.
“Sayang, bolehkah Qiara melihat ke Ibu?”Perlahan, ia mengangkat kepalanya. Kusibakkan rambutnya yang menutupi wajah. Sebenarnya Qiara gadis yang cantik. Bulu matanya panjang dan lentik. Kulitnya putih.
“Ini kenapa, Qiara?” tanyaku sambil menyentuh sedikit ujung bibirnya yang terlihat lebam. Dahiku berkerut.
“Jatuh dari tangga,” jawabnya. Ia menunduk kembali.
“Jatuh dari tangga? tangga dimana?” sambungku mengejarnya dengan pertanyaan. Hatiku dipenuhi rasa ingin tahu yang besar.
“Rusun”
“Qiara tinggal di rusun?”
Ia hanya mengangguk pelan. Tidak jauh dari sekolah memang ada rumah susun. Setiap tower ada lima tingkat. Qiara jatuh dari tangga di tingkat berapa ya? Banyak anak anak yang tinggal di rusun bersekolah disini. Aku sendiri baru beberapa bulan bertugas mengajar di sekolah ini.
“Ibu ingin menjadi teman Qiara. Boleh kah?”
“Teman Qiara? tidak ada yang mau berteman dengan orang aneh, Bu. Kenapa? Ibu kan bu guru ...,“ ujarnya heran. Ia memandangku sebelum menunduk lagi. Ini adalah kalimat terpanjang yang kudengar dari mulutnya.“Tidak ada kenapa. Ibu hanya ingin menjadi teman Qiara. Itu saja. Seorang teman akan saling mempercayai. Qiara bisa percaya dan mengandalkan Ibu,” jelasku padanya. Kuharap ia mengerti.
Ia kembali memandangku. Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Kusodorkan tanganku padanya. “Berteman?”Ragu ragu ia menyambut tanganku. Kupeluk tubuh mungil itu. Kurasakan tubuhnya menegang dan kaku. Entahlah, hatiku mengatakan ada sesuatu pada Qiara. Aku penasaran dengan luka dan lebam itu. Kurasa ia tidak sekedar terjatuh ...
“Bu, terima kasih,” ujarnya mengurai pelukanku.
“Qiara, kita makan siang bersama yuk. Ibu bawa bekal makan yang banyak hari ini,” tawarku sambil mengeluarkan kotak makan yang biasa kubawa.Ia hanya menggeleng lalu berpamitan padaku. Sebelum ia beranjak dari ruangan, kukatakan padanya bahwa ia bisa bertanya dan bercerita apapun padaku. Jika ada kesulitan, aku bersedia membantunya. Ia mengangguk. Sekilas senyuman yang disembunyikan, tersungging samar di bibirnya dan tertangkap netraku. Ada apa denganmu, Qiara?
***
Bersambung
A Story By Dev
Jangan lupa di vote ya 😁♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Qiara
Casuale(Peringatan : Tulisan ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu pengalaman traumatis ; saya sarankan tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan) NAMAKU QIARA Kisah ini bertutur tentang perjuangan seorang gadis berdamai dengan masa la...