Malam ini Qiara tidur sangat nyenyak meski hanya beralaskan kasur tipis. Semua perlengkapan sekolah yang akan dibawa besok sudah disiapkannya. Setelah Shalat Shubuh, Qiara berencana akan berangkat. Uang untuk ongkos angkot juga sudah ia siapkan secukupnya. Selebihnya ia sisihkan untuk ongkos hari-hari berikutnya. Uang itu ia selipkan di kantong tas slempangnya. Ia bersyukur Bu Wira dapat menerimanya tetap bekerja di rumahnya seminggu tiga kali. Bu Wira bilang, Qiara harus lebih mengutamakan sekolah. Bekerja di sela sela waktu saja.Saking nyenyaknya Qiara tertidur, ia tidak menyadari bahwa ada sepasang mata tajam yang menatapnya lekat. Tatapannya seperti mata serigala lapar yang melihat mangsanya. Sosok itu menyibak rambut Qiara hingga memperlihatkan pipi tirusnya yang putih. Bulu mata yang lentik, mata yang indah, hidung mancung dan bibir tipis merah muda.
Perlahan sosok itu mengelus pipi Qiara dengan lembut. Lalu sentuhannya turun ke leher dan bahu Qiara. Qiara menggeliat, rupanya ia masih terbuai mimpi. Sosok itu pun menarik tangannya.
“Kamu cantik, mirip ibumu. Lihat saja, aku akan mendapatkanmu, Sayang ....“
Sebuah senyum menyungging di bibir itu. Tidak ... itu bukan senyuman. Itu lebih mirip dengan seringai ....
***
POV. Qiara
Pagi ini aku bersemangat sekali. Aku akan pergi ke sekolah. Sebelum Adzan Shubuh berkumandang, aku sudah bangun untuk bersiap siap. Keluar dari kamar mandi, tak sengaja aku hampir bertabrakan dengan Tante Sherly yang baru keluar dari kamarnya. Gorden kamarnya terbuka setengah. Jantungku berdegub saat kulihat sosok bertubuh besar berbaring di ranjang Tante Sherly. Buru buru kualihkan netraku. Meski hatiku bertanya-tanya siapakah dia? Tentu saja aku tidak berani menanyakannya. Bukankah Om Hendri bilang tidak menginap disini? Apakah itu Om Hendri? Entah lah ....
Rupanya Tante Sherly dapat menebak kebingunganku.
“Hayoo ... lihat siapa?” ujar Tante Sherly sambil mengerlingkan matanya.
“Eh ... eh ... itu, aku ...,“ sahutku tergagap tidak tahu harus jawab apa. Aku menunduk bingung.
“Sssst ... kamu bisa jaga rahasia kan? jangan bilang-bilang ke Om Hendri ya kalo semalam teman Tante menginap disini. Kalau Om Hendri sampai tahu, itu berarti dari kamu,” bisik Tante Sherly di telingaku dengan nada mengancam.
Mau tidak mau, aku mengangguk. Sebenarnya ada rontaan dalam hati. Kupikir tidak seharusnya Tante Sherly tidur sekamar dengan pria yang bukan suaminya. Suami Tante Sherly, Om Hendri kan? atau bukan? Ah ... sudahlah. Makin dipikir, aku makin bingung.
Kulipat sajadah dan mukenaku rapi. Seragam sekolah sudah sejak tadi kukenakan. Beberapa buku sekolah masih ada di rusun. Pada hari pemakaman mama, Tante Sherly begitu terburu buru sehingga tidak banyak barang yang dapat kubawa. Aku berencana akan ke rusun dulu, mengemasi barang barang pentingku, baru ke sekolah. Itu pun kalau sempat. Kurasa, aku siap menjalani hari hari baru bersama Tante Sherly dan Om Hendri. Kuharap, mereka dapat menjadi orangtuaku dan mencintaiku sebagai anaknya. Aku harus jadi anak yang baik dan tidak menjadi beban bagi mereka.
Sejak Tante Sherly menceritakan kisah hidup mama yang berat, kurasa aku dapat sedikit memahami perlakuan mama terhadapku. Meski sejak kecil aku sering merasa sakit di sekujur tubuh dan perih di hatiku akibat perlakuan mama yang kasar dan menusuk, tapi tidak ada dendam untuknya. Aku tetap menyayangi mama sepenuh hatiku.
Mmm ... ada sih rasa sedih, kecewa, marah kepada mama. Namun, sepertinya rasa takut lebih mendominasi. Aku selalu takut berbuat salah. Takut mama marah padaku. Rasa takut salah ini sering muncul juga di kehidupanku yang lain selain di rumah. Seperti halnya di sekolah atau saat berinteraksi dengan orang lain di rusun. Itu sebabnya, aku sebisa mungkin mengurangi interaksi dengan tetangga ataupun teman sebayaku. Aku takut berbuat salah kemudian justru menyakiti mereka.
Aku sering bertanya-tanya, apakah mama benar-benar membenciku seperti yang sering ia katakan? adakah rasa cinta untukku di hatinya? cukup berhargakah aku baginya? aku tidak pernah berani langsung menanyakannya pada mama. Aku takut.
Sejak mendengar cerita Tante Sherly semalam, aku senang mengetahui bahwa mama telah berjuang mempertahankan kehidupanku. Ia telah mengambil resiko yang tidak mudah di usianya yang masih sangat muda waktu itu. Cinta dan kasih sayang membantu sang waktu untuk membasuh luka di hati. Hatiku terasa lebih ringan. Terima kasih mama ....
Yap, aku siap. Pelan aku memanggil nama Tante Sherly di depan gorden kamarnya. Terdengar suara aneh didalam. Aku tak mengerti suara apa itu. Aku hanya ingin berpamitan kepada Tante Sherly.
“Ada apa, Qia?” Jawab Tante Sherly dari dalam kamarnya. Aku menautkan alisku. Suaranya seperti habis jogging.
“Qia pamit berangkat ke sekolah, Tan,” pamitku hati-hati.
“Ya sudah. Pergi sana,” jawab Tante Sherly dari balik gorden.
“Assalamu’alaikum,” ucapku pelan. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku bergegas pergi.
***
Bersambung
A Story By Dev
Jangan lupa di vote ya 😁♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Qiara
Random(Peringatan : Tulisan ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu pengalaman traumatis ; saya sarankan tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan) NAMAKU QIARA Kisah ini bertutur tentang perjuangan seorang gadis berdamai dengan masa la...