Rumah Susun

6 2 0
                                    


POV. Bu Ani

Kelas tiba tiba hening saat aku masuk. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Kutatap sendu bangku kosong yang biasa ia duduki. Sudah dua hari Qiara tidak masuk sekolah. Apakah ia sakit? Semoga kamu baik baik saja, Qiara.

Segera kubereskan pekerjaanku. Setelah jam mengajar usai, aku harus kesana. Aku harus memastikan sendiri kabar yang kudengar dari murid muridku. Apakah benar ibunya Qiara bunuh diri? Lalu dimana Qiara sekarang? Terik matahari tak kuhiraukan. Bergegas kuparkir motorku di depan kantor pengelola rumah susun.

Aku menemui Bapak Kepala Pengelola Rumah Susun tempat tinggal Qiara. Kuperkenalkan diri sebagai guru sekolah Qiara. Kujelaskan padanya maksud kedatanganku. Beliau menerimaku dengan baik di kantornya.

“Bolehkah saya masuk ke rumahnya, Pak?” tanyaku pada Bapak Hamid, Kepala Rumah Susun disana.
“Silahkan, Bu. Sebenarnya, saya menunggu keluarganya datang untuk mengambil barang barang milik Qiara dan ibunya. Tetapi, nomor telpon yang ia tinggalkan tidak aktif. Jadi saya tidak dapat menghubungi. Urusan dengan kepolisian pun sudah selesai. Mama Qiara dinyatakan murni bunuh diri. Lagipula keluarga tidak menginginkan otopsi atau apa gitu. Langsung dimakamkan saja,” jelas Pak Hamid.

“Kalau ibu bisa menghubungi Qiara atau Ibu Sherly, mohon diberitahukan ya, Bu. Barang-barangnya segera dipindahkan. Soalnya penyewa yang baru akan datang awal bulan ini,” susul Pak Hamid lagi. Kemudian Pak Hamid mengutus Mang Agus, anak buahnya, untuk mengantarku ke rumah yang disewa oleh Mama Qiara.  Mang Agus bekerja sebagai petugas kebersihan di rumah susun ini. Disini terdapat beberapa gedung atau tower. Setiap gedung terdapat lima lantai. Setiap lantai ada sekitar dua puluh kepala keluarga.

“Jadi Qiara tinggal di lantai paling atas ya, Mang?” Kataku sambil mengatur nafas karena lumayan juga menaiki tangga hingga lantai lima. Pantas saja tubuh Qiara kurus, setiap hari olahraga naik turun tangga seperti ini. 

“Iya. Mereka tinggal di lantai lima. Sewa di lantai paling atas lebih murah Bu daripada yang dibawah. Mereka baru satu tahun tinggal disini. Nggak pernah ada masalah sih. Kita juga nggak tahu kenapa sampai dia bunuh diri. Mereka sangat tertutup, Bu. Nggak kayak ibu ibu disini yang sering kumpul bareng tetangga. Qiara juga jarang keluar. Padahal disini rame, Bu. Dua puluh empat jam nggak pernah sepi. Anak anak muda seumuran Qiara banyak yang nongkrong tuh sampe malam ... Malah sampe pagi. Pak Hamid sebagai pengelola disini pusing ngaturnya. Aturan yaaaa tinggal aturan, Bu ....” cerita Mang Agus.

Aku manggut manggut mendengar penuturannya.

“Apakah bu guru tahu Mama Qiara kerja apa?” tanya Mang Agus menyelidik.

Aku menggelengkan kepala.

“Kata orang orang sini, Mama Qiara itu lonte .... “ Mang Agus mengecilkan suaranya. “Ih, udah seumur hidup berdosa, matinya bunuh diri pula. Masuk neraka itu ya, bu guru?”

Aku sama sekali tidak menanggapi celotehan Mang Agus yang terakhir. Sejujurnya, aku tidak suka dengan opini Mang Agus. Menurutku, kita tidak berhak mencap seseorang berdosa atau tidak. Masuk neraka atau Syurga. Siapa kita? Merasa diri kita lebih baik? Belum tentu. Belum tentu juga kita selamat. Ya kan? ....

“Eeng ... tapi, yaaaa ... kita nggak tahu juga sih ya. Itu kan omongan orang-orang doang, Bu.” Mang Agus menggaruk tengkuknya sendiri. Tampak sekali ia merasa tidak enak melihat air muka tidak suka di wajahku.  

“Saya masuk ya, Mang. Jika Mang Agus ada kegiatan lain, tidak apa saya ditinggal. Nanti kuncinya akan saya kembalikan. Siapa tahu didalam saya bisa menemukan nomor kontak keluarga Qiara yang bisa kita hubungi,” ujarku pada Mang Agus.

“Baik, Bu. Saya tinggal ya, Bu. Mmm ... Bu Guru, bolehkah saya bertanya?” sambung Mang Agus tampak ragu.

“Silahkan, Mang,” jawabku.

“Kalau boleh tahu, kenapa Ibu ingin mencari Qiara? Kenapa Ibu peduli padanya? Maaf, Bu. Dia kan anaknya ....” Mang Agus menghentikan perkataannya yang belum selesai. Kata yang terakhir urung ia lontarkan. Mungkin ia teringat akan ketidaksukaanku saat ia mengatakan pekerjaan ibunya Qiara.
“Karena saya teman Qiara ..., “ tukasku cepat sekaligus memotong kalimatnya. Tersirat kebingungan di wajah Mang Agus mendengar jawabanku.

“Seorang Guru berteman dengan muridnya dan begitu peduli pada kehidupan pribadi muridnya? Tidak ada yang aneh, bukan?” imbuhku lagi sambil menatapnya tajam.  Mang Agus cengengesan, mengangkat bahunya lalu ngeloyor pergi.

***

Bersambung

A Story By Dev

Jangan lupa di vote ya 😁♥️

Namaku QiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang