Dengan hati hati kubuka pintu kediaman Qiara. Tidak banyak barang disana. Rumahnya terdiri dari dua kamar, dapur dan kamar mandi. Ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan. Satu set sofa sederhana menghias ruang tamu yang tidak besar itu. Tidak jauh dari meja makan dengan dua kursi, terdapat kulkas satu pintu berukuran sedang yang terdapat karat di beberapa bagian pintunya.Kubuka salah satu kamar. Terdapat tempat tidur ukuran satu orang dan meja belajar. Tidak ada lemari pakaian disana. Ini pasti kamarnya Qiara. Di meja belajar, masih tertumpuk rapi buku-buku sekolah. Terselip buku raport disana. Ah, ini raport Qiara saat masih SD. Kubuka lembaran buku raport tersebut. Benar saja dugaanku. Qiara gadis pintar. Nilainya di raport bagus-bagus. Hanya saja, di bagian komentar, guru-gurunya hampir semua menuliskan dukungan dengan nada yang sama, yaitu Qiara perlu lebih banyak berinteraksi dengan teman, memperbaiki sikap, melatih komunikasi dan meningkatkan kepercayaan diri.
Mataku menangkap sebuah foto wanita cantik yang sedang tersenyum. Foto itu dibingkai dengan kertas berwarna dan diletakkan apik diatas meja. Dibawah foto itu terdapat tulisan “Selamat Ulang Tahun, Mama. Love you. Qia.”
Aku beranjak ke kamar di sebelahnya. Di kamar ini pun tidak banyak barang yang terlihat. Aku tidak berani menyentuh apa apa disini. Di kamar inilah ibunya Qiara dikabarkan gantung diri. Kamarnya terlihat rapi. Terdapat gulungan seprai yang berisi barang-barang seperti baju, tas, sepatu, dan beberapa buku. Rupanya mereka sudah mengemasi barang barangnya, siap dibawa pergi. Aku memperhatikan dengan detil isi kamar itu. Berusaha menemukan apapun yang dapat dijadikan petunjuk keberadaan Qiara. Nomor telpon, alamat, atau apapun itu.
Setelah beberapa lama, nihil.
Aku menghela nafas. Tak sengaja mataku menangkap sebuah buku catatan kecil yang tersembul dibawah seprai yang menggulung barang barang itu. Kuambil buku itu. Semula ingin kugabungkan ke dalam barang-barang lain yang siap angkut supaya tidak tercecer. Namun, entahlah ... hatiku tergelitik untuk mengintip lembar pertama.
“Bapak dan Ambu ... Nurul minta maaf sudah mengecewakan Bapak dan Ambu. Ampuni Nurul ya ... Nurul harus mencari Mas Bayu ke Jakarta. Mas Bayu bilang, dia pasti kembali untuk menjemput. Tapi ... Nurul tahu alamatnya kok. Bapak dan Ambu tenang saja, di Jakarta ada Sherly. Nurul akan minta bantuan Sherly untuk mencari Mas Bayu.” November, 2007
Bayu?? Mungkinkah ini nama Ayah Qiara? ....
“Bapak dan Ambu ... Sherly menganjurkan untuk menggugurkan saja kandungan Nurul. Tadinya Nurul berharap bisa bertemu lagi dengan Mas Bayu. Tapi ternyata alamat yang diberikan Mas Bayu waktu itu, palsu. Tidak ada alamat itu. Apa yang harus Nurul lakukan? Apakah Nurul ikuti saja anjuran Sherly?” Januari, 2008
“Nurul tidak tega membunuhnya, Pak ... tapi, harus bagaimana ya? Nurul bingung ... Nurul kangen sekali pada Bapak dan Ambu. Tapi, Nurul tidak berani pulang ke kampung. Ampuni Nurul, Ambu ...“ Februari, 2008
“Bapak dan Ambu tercinta ... Nurul sudah melahirkan bayi perempuan yang cantik. Namanya Qiara. Kapan-kapan, Nurul akan membawa Qiara untuk bertemu dengan Bapak dan Ambu. Qiara akan menjadi anak yang pintar seperti ayahnya. Tolong Bapak dan Ambu jangan membenci Mas Bayu ya. Pasti Mas Bayu punya alasan kenapa ia tidak menepati janjinya untuk kembali menjemput Nurul. Mas Bayu pernah bilang, kalau Mas Bayu akan nerusin sekolah ke luar negeri. Sekolahnya naik pesawat. Tapi masih belum tahu kapan berangkatnya. Luar negeri itu jauh ya dari rumahnya Mas Bayu di Jakarta? Entahlah ... Rumahnya saja tidak ketemu” Juli 2008Aku membalik balik lembar demi lembar di buku catatan itu. Semakin lama aku semakin tenggelam membacanya.
Namanya Qiara. Dia salah satu siswa di sekolah tempatku mengajar. Dia gadis pendiam dengan sorot mata sendu. Tubuhnya mungil dan kurus. Setiap jam istirahat, Qiara selalu berada di kelas. Dia sangat jarang tersenyum. Wajahnya datar. Sebagian besar wajahnya ditutupi oleh rambutnya yang panjang sebahu. Ia tidak pernah terlihat bermain bersama teman sebayanya.
Jika ia ditanya, jawaban yang ia berikan hanya berupa kalimat-kalimat pendek. Ia selalu menunduk dan tidak berani menatap lawan bicaranya. Ketika ditegur, serta merta ia gelisah dan segera mengakui bahwa ia telah bersalah. Terlihat sekali, ia tidak percaya diri. Padahal, aku yakin dia anak yang cerdas. Dia hanya butuh kesempatan yang lebih banyak untuk berbahagia sebagai anak yang berusia dua belas tahun. Apakah sekarang Qiara tidak bahagia?? Entahlah ... kurasa Qiara menanggung beban hidup yang menuntutnya untuk menjelma menjadi dewasa lebih cepat.
Kututup buku catatan itu. Aku termenung. Qiara ... kamu dimana, Nak?***
Bersambung
A Story By Dev
Jangan lupa di vote ya 😁♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Qiara
Diversos(Peringatan : Tulisan ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu pengalaman traumatis ; saya sarankan tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan) NAMAKU QIARA Kisah ini bertutur tentang perjuangan seorang gadis berdamai dengan masa la...