Aku melangkah gontai menuju rumah. Terlukis senyum kecil di wajah. Hari ini Bu Ani memanggilku. Kukira, aku akan dimarahi. Ternyata tidak. Bu Ani hanya ingin berbicara. Bu Ani cantik dan harum. Ia sangat baik dan lembut. Untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain.Ah, seandainya mama bisa seperti Bu Ani. Kugeleng gelengkan kepala, mengusir hayalan yang mustahil itu.
Bu Ani bertanya mengenai lebam yang ada di sudut bibir dan kedua lengan ini. Kujawab bahwa aku terjatuh di tangga rusun. Maaf, aku sudah berbohong. Aku tidak ingin Bu Ani tahu apa yang mama lakukan setiap hari. Mama adalah satu satunya yang kumiliki.
Bu Ani mengatakan bahwa ia ingin menjadi temanku. Jika aku ada kesulitan di sekolah, Bu Ani bersedia memberikan tambahan pelajaran seusainya jam sekolah. Aku hanya menggangguk dan tersenyum dalam hati. Tentu saja, Bu.
Tentu saja aku senang Bu Ani mau menjadi temanku. Entahlah, hati ini terasa menghangat. Buru-buru kutarik lagi senyum yang sempat terlukis di wajah. Kusembunyikan senyum itu di dasar hati. Bu Ani tidak boleh melihatnya. Kupikir, senyuman bukanlah milikku.
“Assalamu’alaikum .... ” Kubuka pintu rumah perlahan. Rupanya mama belum berangkat kerja. Sepatunya masih tergeletak di dekat pintu. Beberapa botol minuman berserakan di meja makan dekat dapur. Sepertinya mama minum terlalu banyak semalam sampai ketiduran dan belum bangun hingga jam segini. Kubuang botol botol minuman keras itu ke tempat sampah. Aku tidak tahu bagaimana mama bisa membawa minuman ini ke rumah tanpa diketahui oleh pengelola rusun.
Perutku sangat lapar. Hhhh ... tidak ada makanan apapun. Kucari-cari selembar uang di meja makan, tempat biasa mama menaruh uang untuk makan siang. Tidak ada juga ...
Hmm, tangan ini pun mengelus-elus perutku yang lapar. Akhirnya air putih dan nasi keras sisa semalam menjadi pengganjal perutku. Mungkin mama lupa ....Kuhentikan langkah di depan kamar mama yang pintunya terbuka sedikit. Tidak biasanya seperti ini. Biasanya mama selalu mengunci pintu kamarnya saat ia bekerja. Mama akan marah besar jika aku memasuki kamarnya tanpa ijin.
Ragu ragu pun menyergap. Lama aku berdiri di depan kamar mama. Ah, panggil saja dari luar. Semoga saja suasana hati mama sedang baik jadi tidak akan marah-marah ....
“Mama? ... mama di dalam ...?”
Tidak ada jawaban.
Kuketuk pintu kamar mama. Tetap tidak ada jawaban dari dalam.
Ketakutan mulai menyelimuti. Kecemasan tercetak jelas. Mama pasti belum berangkat kerja karena sepatu dan tasnya masih ada di rumah. Namun, kenapa di dalam sana begitu hening?Terbayang kilasan wajah cantik mama semalam. Mama tampak sedang sangat bersedih. Aku menyesal karena tidak menemaninya tadi malam. Siapa tahu mama sedang butuh seorang teman? Tapi ... apakah mama mau berteman denganku? mama selalu bilang bahwa ia membenciku. Hhh ....
Kudorong pintu kamar mama perlahan ...
Aku terbelalak dan histeris.
“Mamaaaaa! ....” Tubuhku luruh ke lantai. Aku tercekat. Tangisku tertahan ....
Namaku Qiara. Panggil saja Qia. Aku ingin menjadi guru yang lembut dan baik seperti Bu Ani. Aku tidak suka keramaian. Namun, saat ini di rumahku ada banyak orang. Ada Pengelola rusun, polisi, dokter dan tetanggaku yang berkerumun diluar rumah. Aku termenung bingung. Sama sekali tak bisa bersuara. Aku hanya menempatkan diri kecil ini di pojokan rumah.
Mataku mengamati mereka yang sibuk menurunkan tubuh mama. Ya, aku menemukan tubuh mama terikat dan tergantung di plafon kamarnya. Seutas kain menjerat lehernya. Mama masih mengenakan pakaian yang semalam. Aku tidak tahu kapan mama melakukan hal itu. Kenapa mama melakukannya. Apakah karena mama sangat membenciku? Apakah mama sangat marah dan tidak ingin lagi bertemu denganku lagi sehingga ia pergi dengan jalan seperti ini?
Tubuhku gemetar. Udara di sekeliling terasa menjadi lebih dingin. Kugigit bibir menahan air mata yang berdesakan ingin keluar.
“Aku tidak akan menangis, Mama. Kamu tidak suka melihatku menangis kan? Aku tidak akan menangis, Ma. Aku akan nurut sama Mama. Aku tidak akan membantah lagi. Aku akan menjadi anak manis yang Mama inginkan.” Batinku berujar lirih.
“Mama, tolong jangan pergi. Tidak apa apa jika Mama membenciku. Tidak apa apa jika Mama menyesal telah melahirkanku, yang penting aku sayang Mama. Aku menyesal tidak pernah mengatakan ini padamu ....”
“Mama, apakah kau tahu? Aku tidak ingin kamu pergi. Ayo, Ma. Mama harus bangun. Jangan diam saja. Pukul aku lagi, Ma. Bentak aku lagi. Aku akan jadi anak baik dan penurut ....”
Di sudut ruangan yang sempit, aku berjongkok sambil memukul-mukul diri sendiri. Aku mengutuk ... aku mencaci. Aku benci kamu Qia!
***
BersambungA Story By Dev
Jangan lupa di vote ya 😁♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Namaku Qiara
Random(Peringatan : Tulisan ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu pengalaman traumatis ; saya sarankan tidak meneruskan membaca jika dalam keadaan rentan) NAMAKU QIARA Kisah ini bertutur tentang perjuangan seorang gadis berdamai dengan masa la...