05 : Edelweiss
Esoknya, aku memiliki jadwal untuk mengunjungi kantorku di pusat kota. Tiba di sana aku segera berjalan ke lift basement untuk menuju lantai seratus. Ya, di sanalah ruanganku berada.
Pintu terbuka dan menampilkan ruangan luas dengan sentuhan modern. Di ujung sana ada meja kerjaku, lengkap dengan kursi yang berada di belakangnya. Sementara beberapa meter di depan meja kerjaku terdapat empat buah sofa besar yang melingkari sebuah meja. Sofa-sofa itu akan digunakan ketika ada pertemuan yang penting.
Aku pun terduduk di kursiku dan melihat peralatan tulis yang selalu tertata dengan rapi. Di ujung meja yang menghadap ke depan ada papan nama yang bertuliskan namaku beserta dengan jabatan yang ku emban.
Tanganku mengelus kursi ini, merasakan setiap kelembutannya yang sangat nyaman. Kursi yang ku duduki ini adalah takhta yang selalu diperebutkan oleh semua orang. Aku yakin sekali, mereka berusaha merebutnya dariku. Aku selalu waspada akan hal-hal seperti itu. Mataku memandang kosong pada ruangan ini. Keadaan di sini benar-benar sunyi sehingga aku terhanyut dalam lamunanku sendiri.
Ibaratkan seorang ratu, aku berada di posisi paling atas dari sebuah organisasi. Bersamaan dengan posisi itu pula, aku selalu merasa sendiri. Aku seperti seorang ratu yang selalu menyendiri dan tak pernah tahu bagaimana kehidupan lain di luarnya. Biarpun banyak sekali orang di bawahku yang selalu siap untuk membantu, tetapi tetap saja bila semua kewajibanku itu usai, aku akan kembali pada keadaan seperti ini.
"Bu Jisoo?" Aku tersentak dan mendapati asisten yang berasal di luar tiba-tiba masuk ke dalam. Aku bahkan tak menyadari kapan ia mengetuk pintu.
"Maaf bu saya udah ganggu ibu."
"Eh? Gak kok. Ada apa, Jiho?"
"Euh... ini bu, ada kiriman bunga." Mataku terbelalak ketika mendapati buket bunga yang dipegang oleh Jiho. Dari bentuknya saja aku tahu bahwa itu bukanlah bunga mawar.
"Loh? Ini kan..."
"Maaf, ini kenapa bu?"
"Ini tuh bunga abadi." Jiho hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Aku mengambil alih bunga itu dan menaruhnya tepat di hadapanku.
"Siapa yang kirim?" Tanyaku sembari tersenyum ketika melihat bunga-bunga cantik yang tertata rapi itu.
"Maaf bu, saya kurang tau, kurirnya juga sama. Tapi ini ditujukan buat ibu."
"Ya sudah deh, makasih ya."
"Sama-sama, bu Jisoo. Saya kembali ke meja lagi." Aku tak menanggapi Jiho, masih terlalu sibuk melihat kecantikan bunga abadi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradox
FanfictionHubungan kita layaknya sebuah paradoks, selalu dipenuhi kontradiksi ketika kita mencoba untuk menggunakan intuisi. Start 12-12-2020 End 17-12-2020 © _gzbae_