08. Panggilan BK

537 88 14
                                    

Hari itu Jeno tak kembali lagi ke kelas. Bersama Renja dan Hafiz dia melewatkan semua pelajaran sampai pulang. Betulan tak kelihatan batang hidungnya sampai tiba-tiba ketika Lia sedang bersiap-siap untuk pulang Jeno mengirim pesan singkat, tanpa salam tanpa basa-basi, bawain tas gua, begitu katanya.

Lia cuma membaca pesan Jeno tanpa ada niatan buat membalas. Tapi meski ekspresi mukanya sarat akan rasa ogah, Lia pada akhrinya tetap merapikan alat tulis Jeno sesaat setelah merapikan miliknya sendiri lantas pergi meninggalkan kelas dengan tas Jeno di dekapan.

Hari ini Sonya ekskul, Jisa juga lembur, kak Juna ada pendalaman materi, Una  pulang bersama Hafiz. Jadi, Lia terpaksa pulang sendiri naik bis.

Langkah Lia tertahan sebentar waktu ada chat masuk dari Jeno, lagi.

Gua tunggu di parkiran.

Lagi-lagi chat Jeno hanya Lia baca. Lanjut melangkah ke arah parkiran dan sampai di sana beberapa menit kemudian. Matanya bergerak cepat mencari sosok Jeno, langsung melangkah mendekat kala dilihatnya sosok itu duduk di motornya yang diparkir di bawah pohon mangga yang buahnya sedang banyak-banyaknya; amat sangat menggoda iman untuk seorang Liandra  yang hobi merujak mangga muda. Pohonnya tak begitu tinggi, Lia bakal pikirkan cara untuk mengambilnya barang sebiji dua biji nanti bersama Sonya yang sama-sama pecinta mangga muda sepertinya.

Lia melemparkan tas di dekapan pada pemiliknya, melipat kedua tangan di depan dada, menatap Jeno penuh selidik.
"Lo kemana aja?" tanyanya.

"Kenapa? Kangen?"

"Empat kali guru BK bolak balik manggil lo!" sahut Lia, tak habis pikir melihat kenapa Jeno bisa sesantai itu setelah memukul guru dan bolos seharian.

"Gua ketiduran di warung mak Popon."

Lia berdecak pelan, "Warung mak popon yang di belakang sekolah itu? Mak popon yang cucu nya cantik?"

Jeno tertawa pelan melihat ekspresi nyinyir Lia. Sisa-sisa rasa kesalnya atas kejadian tadi siang sempurna menguap. "Si Renja di make up in gak ada lawan, cucunya mak Popon doang mah lewat."

Lia mendengus pelan, "Kok Renja sih?! Aturan lo bilang tetep cantikan gua, dasar!"

"Ntar lo baper gimana?"

"Gak akan!"

"Yaudah, tetep cantikan lo, Liandra!"

"iya tau, makasih." sahut Lia cuek.

Jeno terkekeh, entah bagaimana caranya cuma Lia satu-satunya cewek yang tak pernah tersipu malu atau memerah pipinya kala dia puji cantik— dan Jeno suka itu, seakan menantangnya untuk terus-terusan membeberkan fakta kalau Lia sungguhan cantik.

"By the way, makasih ya Jen."

"Buat?"

"Ya lo merasa udah melakukan kebaikan apa aja hari ini ke gue?"

Jeno hanya merespon ucapan Lia dengan kekehan sebelum sejurus kemudian tangannya menepuk ruang kosong di jok motornya beberapa kali.

Lia tersenyum senang. Dia tak punya alasan buat menolak, selain karena kelewat malas buat jalan ke halte, dia juga masih belum sepenuhnya lupa dengan kejadian tempo hari. Maka, dengan senang hati Lia segera beranjak naik ke atas motor seraya berpegangan pada kedua sisi jaket Jeno.

"Ngapain naik?"

Lia mengernyit, menatap tampang Jeno melalui kaca spion, "Bukannya lo nawarin tumpangan?!"

Jeno ikutan mengernyit, "Enggak tuh, geer ya lo."

"Ish rese banget!!"

Tawa Jeno yang pecah dan tangannya yang buru-buru menahan tangan Lia supaya tetap berada di kedua sisi tubuhnya membuat Lia mendengus keras detik itu juga. Menatap ekspresi jenaka Jeno dengan tatapan muak.

SympathyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang