Tak ada yang bisa Lia banggakan dari kakaknya yang bernama Jisa itu selain visualnya yang lumayan dan tunangannya yang berduit. Sisanya minus semua. Contohnya kadar kepeduliannya.
Seperti sekarang ini nih; bukannya membantu Lia berpikir bagaimana caranya keluar dari mobil dan masuk ke dalam sekolah tanpa perlu basah-basahan terkena air hujan, perempuan yang terpaut usia tujuh tahun dari Lia itu malah sibuk telfonan dengan soon to be husband nya alias kak Theo.
Iya, pagi ini hujan. Tidak seberapa deras namun jelas akan sukses membuat siapa saja yang nekat menerobosnya basah kuyup mengingat jarak dari mobil kakaknya ke gerbang dan dari gerbang ke area sekolah yang tertutup cukup jauh.
"Buruan turun, gua juga mau ke kantor kali."
Lia mendelik mendengar ucapan kakaknya begitu sambungan telepon dengan tunangannya itu akhirnya terputus. "Tega banget lo sama adik sendiri, gak liat di luar hujan?!" sungut Lia.
"Lari, paling basah dikit doang."
Lia mendengus, melipat kedua tangan di depan dada. "Dosa apa gua sampe dapet kakak gak guna macam lo!"
"Lo juga gak ada gunanya jadi adik."
Andai saja tak dihadapkan pada waktu yang terbatas, Lia akan dengan senang hati untuk jambak-jambakan terlebih dahulu dengan kakaknya, namun karena keterbatasan waktu maka Lia memutuskan untuk menunda acara jambak menjambaknya itu sampai dia pulang nanti. Sekarang Lia akan nekat menerobos hujan terlabih dahulu, benar kata Jisa; paling basah doang.
"Nih pake."
Dalam hati Lia menarik kata-katanya soal kadar kepedulian kakaknya yang mengenaskan waktu Jisa dengan serampangan memasangkan sebuah topi ke kepalanya. Meski agaknya tak akan banyak melindungi Lia dari hujan, namun Lia mengapresiasi usaha kakaknya.
"Tunggu apalagi?! Sono turun!"
"Nggeh nyai."
"Itu punya Theo, pastiin udah wangi bersih pas gua pulang nanti atau skincare lo gak gua biayain lagi—"
"Iya elah bacot bener. Dah ya gua masuk. Bye!" sahut Lia sebelum akhirnya sungguhan keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalem gedung sekolah yang tak bisa dibilang dekat itu. Lantas begitu berhasil mencapai gedung sekolahnya, Lia bisa menyimpulkan kalau hipotesis Jisa salah, ini sih bukan basah sedikit, tapi basah kuyup. Sialan!
"Eh Lia— anjing!"
Lia terkejut, Jeno pun sama. Entah kenapa Jeno yang niat hati ingin membuat Lia terkejut sekalian menyapanya itu langsung berputar memunggungi Lia. Berdiri kaku sambil menyumpahi kebodohan Lia dalam hati.
"Lo kenapa?" tanya Lia heran.
"Anu—" Ucapan Jeno berhenti. Dia bingung harus bagaimana menjelaskan pada Lia soal apa yang dia lihat. Jadi, dari pada membiarkan Lia berdiri di sana lebih lama dalam kondisi yang menggoda iman, Jeno buru-buru melepas jaketnya dan dilemparnya begitu saja ke wajah perempuan itu.
"Pake!"
"Kenapa?"
"Pake aja Liandra!"
"Ya tapi kenapa Jenovan?!"
"Bisa gak nurut aja gak usah pake nanya- nanya?!"
"Kenapa gua harus nurut sama lo?!"
"Gusti Nu Agung!" Jeno berdecak pelan, dia khawatir keburu ada orang lain yang lewat melintas dan melihat apa yang tak seharusnya dia lihat, "Pake aja please."
"Tap—"
"Baju lo tembus Pandang Liandra!Tembus pandang! Ngerti gak?! Keliatan semua!"
"IH JENO!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sympathy
Fanfiction"Lia ya Lia, Sea ya Sea, jangan lu embat dua duanya, tolol!"