18. Perihal salep

661 66 48
                                    

"Sana masuk, biar gua jagain di sini."

Jeno melepaskan rangkulannya pada bahu Sea tepat di depan pintu toilet perempuan, mundur beberapa langkah, bermaksud membiarkan Sea masuk untuk membersihkan diri. Tapi bukannya masuk, Sea yang ditinggal di ambang pintu malah terisak pelan dengan bahunya yang bergetar hebat.

Jeno panik melihatnya, buru-buru merangkul lagi bahu perempuan itu sembari sesekali mengusapnya lembut berusaha menghantarkan ketenangan.

"Jangan nangis, cowok kaya dia jangan dinangisin— tampar aja."

Ucapan Jeno bukannya membuat Sea tenang malah membuat bahunya makin bergetar, menutup wajahnya dengan telapak tangan sambil menggigit bibir bawah menahan isakan. Sejujurnya Sea tak tau mana yang paling menyakitinya, perlakuan James atau keberpihakan Jeno. 

Jeno meringis, menghadapi perempuan yang menangis bukan spesialisnya, Jeno tak tau harus berbuat apa.

"Shutt udah ya jangan nangis—"

"Jenovan!"

Usapan Jeno di bahu si perempuan terhenti, ditolehkan kepalanya ke sumber suara hanya untuk didapatinya Jemian di sana, menatapnya datar yang dibalas dengan tatapan tak kalah datar.

"Lo dipanggil ke ruang BK, sekarang."

Jeno menghela napas panjang, kemungkinan besar Jeno akan kena skorsing lagi setelah ini. "Iya," sahut Jeno dengan malas, memalingkan wajahnya, memilih mengabaikan Jemian dan lanjut menenangkan Sea.

"Sekarang, Jenovan."

Jeno mendengus, "Iya bacot!"

Jemian menatapnya malas, lantas begitu saja berlalu meninggalkan Jeno yang kini mulai melepas rangkulannya pada Sea, mendorong pelan si perempuan untuk segera masuk ke dalam toilet dan membersihkan diri.  

"Sea nya mana Jen?"

Jeno tersentak, kesadarannya yang seolah dibawa pergi bersama Sea ke dalam toilet sempurna kembali begitu mendengar pertanyaan yang terlontar dari ranum Lia yang tak Jeno sadari kehadirannya sampai barusan, barusan ketika dia bertanya.

"Di dalem," sahut Jeno seadanya, Sonya yang menenteng sebuah paper bag berisi seragam bersih untuk Sea yang entah didapatnya dari mana melangkah masuk duluan di susul Una kemudian, meninggalkan Lia yang tak mereka sadari tertahan di depan pintu toilet akibat cekalan Jeno di pergelangan tangannya.

"Yakin lo gak apa-apa?" tanya Jeno, dan alih-alih percaya pada anggukan yakin Lia, Jeno malah menatap Lia serius, mencari kebenaran pada netra bening perempuan itu mengingat Lia bukan seseorang yang suka menunjukkan rasa sakitnya kepada orang lain.

"Bahu lo..."

"Emang agak sakit dikit, but i'm preety sure it's okay."

Jeno mengangguk paham, dia lebih suka jawaban yang ini. Jawaban yang lebih jujur.

"Nanti pulang sekolah dicek, mana tau memar, yang lo tabrak besi soalnya. Kalau beneran memar jangan lupa dikompres atau dipakein salep—"

"Perhatian banget sih," Lia menyela, tersenyum jahil menggoda Jeno yang langsung mengatupkan mulutnya, berkacak pinggang menatap Lia malas. 

"Gua serius," sahut Jeno,"lagian perhatian kepada sesama manusia itu kewajiban."

"Buaya! Kalau yang lo perhatiin pada baper gimana? Mau tanggung jawab?"

"Kalau itu tergantung," ujarnya, kini melipat kedua tangan di depan dada, menatap Lia di hadapannya lebih intens dari sebelumnya dengan senyum tipis yang tersemat di bibir. 

SympathyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang