03. Hotspot dan dasi

746 89 69
                                        

"Kalian udah denger belum?"

"Yang kemarin sore ya?"

"Iya huhuu kasian banget gak sih..."

Lia menghela napasnya berat. Kejadian kemarin sore sepertinya sudah menjadi topik wajib untuk hari ini dan jujur saja itu menjadi tekanan tersendiri untuk Lia. Menenggelamkan wajahnya di atas meja kantin, Lia berusaha menulikan sesaat pendengarannya.

Tubuhnya yang tergeletak penuh darah beberapa meter dari posisinya berdiri terus terbayang setiap kejadian kemarin dibahas dan berbarengan dengan itu rasa bersalahnya tanpa bisa dikontrol semakin menjadi-jadi. Rasa bersalah karena tak mampu melakukan apapun untuk cewek itu selain gemetaran menahan takut.

"Padahal kemarin itu hari pertamanya ya."

"Semoga gak kenapa napa deh..."

"Kalau dipikir pake logika sih kayanya mustahil, parah banget kecelakaannya."

"Hush jangan gitu, semoga ada keajaiban."

"Jangan begitu, mejanya kotor. Sayang—skincare lo mahal."

Lia refleks mengangkat kepalanya hanya untuk mendapati Jeno entah sejak kapan duduk di hadapannya. Setengah kaget setengah bersyukur karena hadirnya Jeno secara tiba-tiba berhasil menghentikan telinganya dari mendengar apapun itu yang membuat Lia tambah kepikiran.

"Dibilang mejanya kotor."

Dagunya Lia tarik paksa dari atas meja untuk kemudian mengusap usap wajahnya sendiri dengan brutal menggunakan tisu yang ada di sana, tak lupa menatap Jeno sengit, agak jengkel mendengar komentar Jeno barusan.

"Lo ngapain kesini?"

Seingat Lia mereka tak punya urusan apapun, jadi hadirnya cowok itu agak janggal sebenarnya bagi Lia.

"Menurut lo orang ke kantin mau ngapain?"

"Mau makan?"

"Enggak, mau minta hotspot."

Lia melempar tatapan mencibir, buru-buru mengamankan ponselnya yang tergelatak di atas meja. "Gak mau, pake wifi sekolah aja sana."

"Password nya diganti sama pak Jajang."

"Kok gitu?"

"Lo tau tembok belakang yang penuh gambar abstrak?" Jeno menjeda sebentar kalimatnya, menunggu respon anggukan dari Lia. "Nah, password wifi baru bakal dikasih tau kalau si pelaku udah ngaku."

"Kira-kira siapa pelakunya?"

Jeno mengangkat bahu tinggi-tinggi meski bayangan Renja yang memeluk beberapa botol pilox dengan wajah puas langsung terbayang sekarang.

"Angka satu sampai delapan."

"Huh?"

"Katanya mau hotspot?!"

Jeno menyeringai. "Nuhun geulis," ujarnya, langsung sibuk mengotak atik ponselnya detik itu juga sementara Lia hanya diam memandangi surainya yang sebetulnya kelewat panjang menusuk-nusuk mata.

SympathyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang