11. Basket dan Tempered glass

470 76 14
                                    

Hari ini pelajaran pertama di kelas mereka adalah olahraga, semua murid kecuali yang tertahan di gerbang karena telat dan Sea yang ditahan oleh bu Imas karena suatu urusan sudah berkumpul di lapangan. Tepatnya di pinggir lapangan sih, di bawah pohon mangga yang buahnya sedang banyak-banyaknya, sama seperti pohon mangga yang ada di parkiran. Tinggal menunggu waktu saja buah mangga yang terlalu muda untuk dipetik itu raib oleh tangan-tangan nakal; tangan Lia dan Sonya salah satunya.

Sebentar lagi nama Sea akan dipanggil untuk diabsen tapi sampai sekarang batang hidungnya belum kelihatan juga. Ruri jadi tak tenang, dia tak tega kalau nanti Sea harus lari keliling lapangan gara-gara telat. Anak itu gampang sakit, that's why Ruri worry about Sea so much. Lagian Sea juga sih mau-mau saja dimintai tolong bu Imas tadi padahal jelas-jelas dia tau kelas akan segera dimulai.

"Sarah"

"Hadir pak."

"Titan ada?"

"Gak ada pak, tetangganya sakit."

"Sea?"

"Duh pak Sea lagi bantuin bu Im—" Ucapan Ruri terhenti, matanya menyipit memperhatikan sesuatu yang baru muncul dari belokan koridor di kejauhan. "Nah itu orangnya pak!"

Sosok Sea semakin kelihatan jelas, berlari kecil memasuki lapangan dengan rambut panjang yang bergerak ke kanan dan ke kiri seiring langkah kaki.

"Loh kamu tumben telat," ujar pak Dadang alias guru olahraga mereka waktu Sea sempurna berdiri di hadapannya.

"Maaf pak, saya habis dari ruang guru dulu barusan. Habis dimintain tolong sama bu Imas."

Pak Dadang menganggukkan kepalanya pelan, begitu saja percaya pada ucapan Sea tanpa perlu penjelasan lebih lanjut bikin beberapa anak cowok mendesis iri melihatnya, merasa di anak tirikan mengingat mereka malah dituduh bohong waktu pakai alasan serupa minggu lalu. "Yaudah bapak maafin kali ini, tapi kamu yang mimpin pemanasan ya."

Sea mengangguk pelan, pak Dadang mengizinkan dia buat duduk dulu sembari menunggunya selesai mengabsen. Baru setelah selesai, pak Dadang mempersilakan Sea untuk memimpin pemanasan seperti apa katanya tadi.

Pemanasan baru berlangsung setengah jalan waktu pak Mumu datang diikuti oleh seseorang. Seragamnya yang tak dimasukkan ke dalam celana ditutupi oleh jaket denim, rambutnya yang panjang agak berantakan bekas helm dan senyumnya yang terkesan playfull itu sukses bikin hampir semua kaum hawa di sana menggelepar seketika.

Itu Jeno, Jenovan.

"Pak Dadang saya minta tolong kasih dia hukuman boleh? Saya harus pergi sekarang, ada panggilan darurat. Barusan saya diminta wakasek buat menemani beliau cari cincin nikahnya yang loncat ke kolam lele."

"Waduh gawat itu pak Mu kalau gak ketemu, bisa-bisa beliau di mutasi ke alam kubur sama istrinya."

"Makanya saya bilang darurat."

Pak Dadang terkekeh, mengalihkan pandangannya pada sosok Jeno yang cuma diam memperhatikan, "Kenapa kamu? Telat?"

"Iya pak telat."

"Telat kenapa?"

"Salah pake baju pak."

"Salah pake baju gimana? Di rumah mu mati lampu? Kok bisa salah pake baju?"

"Saya malah pakai seragam adik saya tadi, ketukar. Jadi saya terpaksa ke sekolah dia dulu, tukeran baju."

Sepele, tapi bisa repot urusannya nanti kalau mereka malah dikira pengkhianat dan dipukuli di sekolah sendiri gara-gara salah pakai seragam yang penuh dengan atribut sekolah musuh.

SympathyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang