29. Kangen Dia

19 5 0
                                    

Titik tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan

Sudah satu Minggu setelah Anin berhasil di operasi, Farga sama sekali belum pernah menjenguk gadis itu lagi. Terakhir ia kesana, satu jam sebelum gadis itu berjuang.

Semburat sinar berwarna jingga, menandakan senja akan segera menghilang dan digantikan oleh gelapnya malam. Seorang lelaki berdiri di balkon dengan tatapan kosong.

"Hei, kenapa kamu di sini?" Tanya wanita paruh baya yang membuyarkan lamunannya.

Dia menyunggingkan sedikit senyumnya, "ingin menikmati senja aja bun." Sosok yang selalu menguatkannya itu mengulurkan tangannya mengusap pipi sang anak

"Farga, bunda tahu kamu sangat mencintai Anin. Tapi kamu rela melakukan ini semua buat dia juga, kan?" Tanyanya. Lelaki itu, Farga, mengangguk membenarkan ucapan sang bunda.

"Titik tertinggi mencintai seseorang adalah mengikhlaskan, entah mengikhlaskan dia pergi, atau dia bersama yang lain. Kamu rela melepas Anin agar dia bahagia, kan?" Lagi, Farga hanya mengangguk.

"Sudahlah, jangan terlalu bersedih. Jika jodoh, kalian pasti akan di pertemukan dengan sebuah takdir," ucapnya dengan senyum kehangatan seorang ibu.

"Iya bunda, Farga baik-baik aja kok. Tadi, Farga cuma sedikit kepikiran."

"Ya sudah, ayo masuk. Sudah sore, nggak baik di luar gini."

****

Ruangan serba putih yang terasa begitu hampa. Tidak ada suara, hanya beberapakali hembusan nafas pasrah dan menghela berat.

'cklek'

Pintu itu dibuka oleh seseorang membuatnya menoleh dan sedikit menyunggingkan senyum.

"Hai," sapanya pada orang yang baru datang.

"Gimana kondisi lo? Udah baikan?"

"Hm, ya gini. Tapi jauh lebih baik dari kemarin," jawabnya dengan senyum yang tidak pudar. Padahal kontras sekali dengan perasaannya saat ini.

"Baguslah, cepat pulih biar bisa sekolah lagi."

"Kenapa dia belum kesini juga?" Gadis itu bertanya dengan suara lirih dan tatapan sendu.

"Huft, dia masih sibuk. Lo nggak usah banyak berharap sama dia." Gadis pucat pasi itu, Anin. Dia menegakkan kepalanya setelah mendengar kalimat itu. "Kenapa? Kenapa gue nggak boleh berharap sama dia? Gue ini masih pacarnya!" Ucapnya merasa tak terima.

"Nin, lo denger gue. Suatu saat lo akan tahu apa alasan di balik semua ini," jelas Gavin kembali memenangkan Anin.

"T-tapi, gue kangen sama dia Vin, lo nggak ngerti apa yang gue rasain," jawabnya dengan suara lirih, bahkan hampir tidak terdengar.

Sesaat kondisinya terasa sangat lemah, gadis bertubuh mungil itu merebahkan tubuhnya di atas brankar yang sudah di setting sedikit tinggi di bagian kepala. "Gue pusing banget."

"Lo kenapa?! Gue panggil dokter!" Ucap Gavin dengan panik setelah melihat Anin terlihat begitu lemah dengan bibirnya yang pucat pasi.

Gavin segera memencet tombol bantuan agar suster atau dokter segera datang. Lelaki yang dikenal dingin itu, dia menggantikan peran Farga sementara. Dia harus mengunjungi Anin setiap hari, dan memastikan gadis itu baik-baik saja.

QUEEN ALGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang