# 5

3.8K 581 89
                                    

"Kamu bisa nggak, sih, pakaikan obat merahnya dengan lembut?!"

Heeseung memutar bola matanya. Pemuda Park di hadapannya ini banyak omong sekali padahal kepalanya sudah tergores ranting pohon.

Seharusnya Heeseung tadi tidak meninjunya. Jika ia tahu bahwa tinjuannya ternyata sangat kuat dan membuat pemuda menyebalkan di hadapannya ini terhuyung ke belakang--terjatuh dan tergores ranting pohon sehingga menyebabkan adanya luka gores di kening dan sikunya--Heeseng jelas tidak akan melakukan apa-apa tadi.

Heeseung berdecak sambil membasahi satu kasa dengan obat merah. Tidak ada orang di UKS dan pemuda Park ini tidak mau mengobati dirinya sendiri--berkata dengan lantang bahwa Heeseung harus bertanggung jawab atau dia tidak aegan bilang ke seisi sekolah kalau dia punya hutang. Heeseung hanya mampu menurutinya karena dia punya reputasi yang harus dijaga. Terkadang hidupnya memang sesial itu.

"Sebentar lagi istirahat kedua berakhir," ucap Heeseung. Dia memasang wajah datar sambil menatap luka di kening Jay. Dia menghindari segala bentuk kontak mata, malas sekali rasanya harus bertatapan dengan anak aneh itu.

Tangannya dengan sangat hati-hati bergerak menempelkan kasa tersebut ke atas luka Jay--membubuhinya dengan cairan obat merah. Jay mendesis.

"Kamu beneran gak bisa ngerawat luka ya?"

"Kalau kamu protes terus, kenapa gak kamu aja yang bersihkan lukamu sendiri?!" Heeseung sewot sekali saat ini. Dia melepas kasa itu dari luka Jay lalu menilai apakah semua bagian yang terluka sudah kena obat merah. "Sudah salah, merepotkan, banyak protes juga."

"Kamu yang meninjuku duluan!"

Heeseung berdecak. Dia menyingkirkan kasa sebelumnya dan mengambil kasa baru. "Kalau kamu gak menyebalkan, aku tidak akan meninjumu," jawab Heeseung. Setelah ia memberi obat merah pada kasa baru, ia menatap Jay. "Sini, kemarikan sikumu yang luka. Sudah diguyur pakai air kan, tadi?"

Jay menatap Heeseung dengan mata memicing dan penuh judgement. Heeseung memilih mengabaikannya. "Sudah," kata Jay. Dia mengulurkan lengannya, memutarnya sedikit sehingga menunjukan bagian yang terluka. "Pelan-pelan dalam memberik--AW! KAMU BISA PAHAM ARTI DARI PELAN-PELAN TIDAK, SIH?!"

Heeseung berjengit kaget. Dia tidak menyangka Jay akan berteriak kepadanya sehingga ia menekan kasa itu ke luka Jay dengan sedikit kuat.

"Bisa tidak teriak gak, sih?! Lagipula aku tidak paham jika yang berbicara itu kamu." Heeseung tetap memasang wajah datarnya. Jay sedari tadi meringis dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Heeseung. "Jangan berisik, kamu tau. Aku masih berbaik hati mau ngobatin kamu dan gak langsung pergi."

Keadaan di antara mereka berdua menjadi hening. Heeseung mengobati luka Jay dengan telaten sementara yang diobati sesekali meringis karena pedih. Heeseung menahan diri untuk tidak memutar bola matanya karena merasa makhluk di depannya ini sangat berlebihan.

"Sudah." Heeseung selesai membersihkan siku Jay. Dia mundur sedikit untuk mengambil pandangan yang lebih jelas.

Jay ini tampan, sungguh Heeseung tidak akan berbohong untuk mengakui itu. Tulang hidungnya tinggi dengan mata double lids berbentuk seperti kacang almond. Garis-garis wajahnya tegas, kesannya dewasa untuk remaja seusianya. Dia tanpa cela.

Yah, selain perilakunya yang menyebalkan dan luka di atas dahinya.

"Kayaknya kamu harus pakai plester." Heeseung akhirnya bersuara setelah sekian lama memperhatikan Jay.

Jay mengerjap. "Kenapa?"

"Lukamu jelek untuk dilihat." Heeseung menjawab sejujurnya. Dia mengambil satu plester luka dari kotak P3K. "Lagipula rasanya pasti gak enak kalau kena rambut dan angin."

gold digger •  jayseung - hoonseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang