# 21

2.6K 429 121
                                    

Satu tangan Heeseung yang terbebas dari pulpen ia gunakan untuk memijit kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri. "Serius, kamu sehari aja gak ngerepotin aku, tuh, nggak bisa ya?" tanyanya dengan nada lelah.

Jay, yang duduk di sebelahnya, hanya menopang wajahnya dengan tangan sementara ia mengarahkan badannya untuk menghadap sepenuhnya ke Heeseung. "Kayaknya gak bisa," jawab Jay, nada suaranya terdengar sangat serius sementara bibirnya membentuk senyum kecil. "Soalnya kamu seperti tercipta khusus untukku. Untuk aku repotin."

Heeseung memukul keras lengan remaja di sebelahnya dengan pulpennya. Jay meringis. "Sialan betul kamu." Heeseung mendesis. "Jangan berisik di sini. Ini perpustakaan. Kamu harusnya diam aja."

"Kamu juga banyak bicara, kenapa juga harus aku yang diam?" tukas Jay. Dia melipat kedua tangannya di atas meja. "Jadi bagaimana? Mau bantuin aku?"

"Nggak mau." Heeseung merespon cepat. Dia menutup buku modul biologinya. "Itu di luar job desk-ku."

Alis Jay terangkat dengan gestur usil. "Oh, jadi sekarang kamu mengakui kalau kamu itu babuku? Character development-mu itu bagus banget, aku jadi suka."

"Ya, Tuhan Park Jongseong, kamu itu ngeselin kuadrat!" Heeseung menendang kaki Jay dari bawah meja. "Pergi sana dari perpustakaan! Aku mau belajar! Permintaanmu tadi bakal aku pikirin setelah aku belajar!"

"Ish, ish, bocah ambis yang galak." Jay menggelengkan kepalanya. Heeseung menulikan telinganya--omongan Jay itu jarang ada yang penting, tidak akan rugi jika tidak mendengarkannya. "Ya, ya, aku akan pergi sendiri sebelum aku diusir oleh petugas karena berbuat berisik."

Heeseung mengangguk kecil. Tangannya mulai menulis soal baru pada buku latihannya ketika ia merespon, "orang kayak kamu emang gak seharusnya ada di perpustak--"

Ucapan Heeseung terputus.

"Semangat belajarnya ya, Galak. Kalau kamu menang olimpiade, yang bangga satu sekolah termasuk majikanmu ini."

Heeseung berhenti menulis saat merasakan sebuah telapak tangan mengacak-acak lembut pucuk kepalanya untuk sepersekian detik.

Napasnya terasa berhenti bersamaan dengan detak jantungnya.

Heeseung mengadahkan kepalanya--hanya untuk menemukan punggung lebar Jay mulai berjalan menjauhi tempat Heeseung duduk untuk mengarah ke pintu perpustakaan. Matanya tetap menatap ke sosok Park tersebut sampai anak itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

Mendadak, Heeseung merasa wajahnya panas sekali dan dia ingin menenggelamkan wajahnya di buku modul biologinya. Ia juga tiba-tiba merasakan kedua tangannya mengepal kuat. Sesuatu seperti ingin membuncah dari dalam dirinya tanpa dia ketahui alasannya.

"Seriusan, aku bisa mati lama-lama kalau harus berhadapan terus dengan Park Jongseong ..." bisik Heeseung pelan sambil berusaha fokus kembali ke bukunya. "Dia benar-benar gak bagus buatku. Kita gak clicked. Sampai kapan aku bisa dibabuin dia terus, astaga."


   
    
   
  

"Kamu pacaran sama Lee Heeseung, ya? Akhir-akhir ini banyak desas-desus yang beredar ditambah tadi pagi banyak yang lihat kamu sama Heeseung di perpustakaan."

"Aku udah muak dengar pertanyaan itu dan juga udah muak jawab; nggak. Aku gak pacaran sama manusia aneh, ambis, dan galak itu." Jay menjawab dengan cepat sambil mengambil tasnya. Dia baru saja mendapat pesan masuk urgensi yang membuatnya tidak bisa duduk lebih lama. "Tuan Nicholas, kalau kamu sekali lagi tanya, aku gak segan tendang kepalamu sekarang juga."

"Pantas akhir-akhir ini Geonu bilang gak mood main sama kamu, kamu jadi makin sadis." Nicholas, anak laki-laki yang tadi bertanya kepada Jay, mencebikan bibirnya. "Yah, dari dulu memang sadis, sih. Cuma makin sadis."

gold digger •  jayseung - hoonseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang