🎹 Piano 🎶

41 6 35
                                    

*Past*
*Back to Yanan’s POV

Hari itu setelah aku menghabiskan waktu bersama Changgu, aku mengantarkannya sampai ke sebuah apartemen yang katanya ditinggali kakaknya itu. Tapi keesokan harinya saat aku benar-benar ada jadwal kontrol ke rumah sakit, aku bertemu lagi dengannya yang mengenakan piyama rumah sakit.

“Aku lebih betah di rumah sakit. Kalau di apartemen Shinwon Hyung aku selalu ditinggal sendirian,” katanya saat aku bertanya.

“Kalau tinggal di rumah orangtuanya, kurasa itu juga bukan ide yang bagus karena ibunya tidak terlalu menyukaiku,” katanya lagi dengan pandangan lurus menatap keluar jendela. Ngomong-ngomong saat ini kami sedang berada di ruang rekreasi dimana ada sebuah jendela kaca besar yang menghadap langsung ke lapangan kecil tempat anak-anak bermain.

“Orangtuanya? Bukankah kalian kakak beradik?”

“Oh maaf sepertinya ceritaku tidak lengkap saat itu, Hyung. Jadi, sebenarnya Shinwon Hyung itu cuma sepupuku. Tapi aku menganggapnya seperti saudara kandung, terutama sejak ibuku meninggal dan aku divonis leukemia. Hanya dia yang mau merawatku,” jelas Changgu.

“Ah,begitu…”

Changgu mengangguk. Astaga kasihan sekali. Dan aku tak mengerti bagaimana ia masih bisa tersenyum cerah di saat hidupnya begitu mengerikan.

“Hyung, kenapa melamun? Ayo mainkan lagi pianonya.”

Ah, aku sampai lupa ada piano yang harus kumainkan di hadapanku untuk menghiburnya. Aku pun kembali membuat jari-jariku menari di atas tuts hitam putih itu memainkan melodi-melodi yang pernah kupelajari. Suara dentingannya yang lembut seperti merasuk ke dalam saraf pendengaran, terdengar cukup menenangkan.

“Kau suka suara piano?” tanyaku tanpa berhenti bermain.

“Huum! Aku suka suaranya,” kata Changgu sembari melangkah mendekatiku dan duduk di sampingku.

“Permainanmu bagus, Hyung. Kau belajar dari siapa?” tanyanya.

“Terimakasih. Mendiang ibuku yang mengajarinya dulu, dia seorang guru les piano.”

Changgu hanya ber-oh tanpa suara. Setelahnya ia hanya diam dan menyandarkan badannya di pundakku. Matanya juga terpejam menikmati alunan melodi yang kuhasilkan dengan jari-jariku. Hingga sebuah suara nyaring terdengar membuatnya terperanjat dan membuatku juga refleks menghentikan gerakanku.

“Changgu-ya! Ayo main!”

Itu Youngjae, bersama dua anak laki-laki lain yang sepertinya sebaya dengannya. Mereka masuk dengan salah satu dari mereka yang membawa bola.

“Hai Youngjae! Oh, dan siapa mereka?” kata Changgu sembari menunjuk dua anak lain yang berdiri di belakang Youngjae.

“Mereka temanku, yah meski kami baru saja bertemu. Ini Yugyeom dan ini Bambam,” kata Youngjae memperkenalkan kedua temannya.

“Hai! Salam kenal, aku Changgu,” kata Changgu ramah dengan senyum manisnya.

“Halo!”

“Halo! Oh dan Ahjussi ini siapa? Ayahnya Changgu?” kata anak yang tadi dikenalkan sebagai Bambam padaku.

Aku menghela napas. Serius, apa aku terlihat setua itu? Aku baru saja akan menjawab saat Yugyeom mendahului sembari menjitak kepala Bambam.

“Tidak sopan! Gunakan matamu, lihat, dia masih muda!”

Aku, Changgu, dan Youngjae hanya terkekeh melihat kelakuan mereka. Bambam baru akan protes saat Yugyeom berulah lagi dengan mamaksanya membungkuk ke arahku.

“Maaf, Ahjussi. Temanku ini tidak sopan.”

Aku hanya tersenyum. Sabar, Yanan, mereka cuma anak-anak.

“Kenalannya nanti lagi saja. Yang penting sekarang kau mau ikut main atau tidak, Ggu?” sela Youngjae.

Changgu mengangguk dengan semangat. “Huum! Aku mau ikut!” Ia lalu menoleh ke arahku. “Hyung aku mau main dulu, ya? Kau mau ikut?”

“Kau mau main bola? Bukankah dokter bilang kau tidak boleh terlalu lelah?” kataku.

“Changgu bisa jadi keeper dan dia boleh istirahat kapanpun dia mau, bukan begitu?” kata Youngjae.

“Baiklah, aku akan ikut dan menonton kalian di pinggir lapangan.”

🍬🍬🍬

Semilir angin sore yang sejuk turut menemaniku menyaksikan permainan anak-anak dengan seragam piyama rumah sakit itu. Mereka begitu bersenang-senang seperti melupakan penyakit yang mereka derita. Tapi aku hanya fokus pada Changgu yang berdiri di sekitar gawang sembari heboh meneriaki teman-temannya yang berlarian mengejar bola.

Hal itu mengingatkanku pada masa kecilku. Fisikku yang memang lemah sejak kecil membuatku tidak bisa berlarian dengan bebas tanpa sesak napas. Maka saat bermain bola bersama teman-teman, aku hanya bisa menjadi keeper. Dan saat bola itu tidak sengaja mengenaiku hingga aku terjatuh, Yenan lah yang akan menangis. Lucu sekali.

“Hei, matamu bisa lepas kalau terus menatap adikku sampai sebegitunya.”

Lamunanku seketika buyar saat seseorang menepuk pundakku sembari berkata begitu. Aku pun refleks menoleh ke arahnya.

“Shinwon Hyung? Kau kemari?”

Ya, dia Shinwon, kakaknya Changgu. Aku berkenalan dengannya saat mengantar Changgu ke apartemennya tempo hari. Dia setahun lebih tua dariku.

“Iya. Untuk membayar tagihan rumah sakit sekalian menengok Changgu. Kau sendiri?” katanya.

“Untuk menemui dokterku dan kebetulan aku bertemu Changgu,jadi aku temani saja sekalian,” jawabku.

“Changgu bilang kau hampir setiap hari menemaninya. Memang kau tidak punya pekerjaan lain ya?”

“Dulu aku bekerja di sebagai perawat panda di sebuah penangkaran, aku juga pernah jadi petugas kebun binatang di Hongkong. Tapi sejak sakitku menjadi lebih parah aku berhenti dan alih profesi menjadi seorang penulis yang bekerja dari rumah. Waktu luangku cukup banyak.”

“Ah… begitu? Ngomong-ngomong…”

“Apa?”

“Kau suka pada Changgu ya?”

“Apa?!”

🍬🍬🍬

A/n.

Bunga bangke unmood karena Tuan Masalah nggak mau pergi sejak kemarin sore…

Huh, bukankah sudah kubilang berkali-kali aku tidak menyukaimu wahai Tuan Masalah?

Oke lupakan, Bunga Bangke cuma ngedrama

Kebanyakan ngedrama…

Hingga sisi bunga bangke yang palsu dan yang asli menjadi bias, buram, seperti pandangan mata orang katarak

Ha ha ha

Bye

A Little HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang