💚 Missing 🍃

50 7 35
                                    

Karakter Tambahan (yang Baru sempat Aku kenalkan) :

Lee Hwitaek a.k.a Hui (27)

- Editor novel-novel Yanan- Teman baik Yanan juga- Berisik, tidak sabaran, tapi cukup pengertian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Editor novel-novel Yanan
- Teman baik Yanan juga
- Berisik, tidak sabaran, tapi cukup pengertian

Ko Shinwon (25)

- Kakak sepupu Changgu- Bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan- Terlihat sangat cuek dan tidak pedulian tapi menyanyangi Changgu lebih dari dirinya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- Kakak sepupu Changgu
- Bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan
- Terlihat sangat cuek dan tidak pedulian tapi menyanyangi Changgu lebih dari dirinya sendiri

🍬🍬🍬

"Aku? Memangnya aku kenapa?"

Sarapan kami sudah selesai. Tapi Aku, Hui Hyung, dan Yuto masih duduk di meja makan. Lebih tepatnya aku seperti diintrogasi oleh mereka berdua. Sementara Kino dan Yenan mencuci piring sembari saling dorong tak jauh dari meja makan, karena dapur dan ruang makan di rumah ini menyatu.

"Itulah yang seharusnya aku tanyakan. Kau kenapa?"

Aku hanya menatap Yuto bingung. Kenapa apanya? Perasaan aku baik-baik saja. Bahkan kemarin aku baru saja selesai kontrol bersama dokter bermarga Adachi ini.

"Kau tidak lupa minum obatmu lagi kan?" Tanyanya.

"Semalam kan dia tidur terlalu awal dan aku tidak tega membangunkannya, jadi ya saat itu dia tidak minum obat," sahut Yenan.

"Pantas saja."

"Tapi dari waktu sebelum minum obatnya pun dia sudah tampak tidak beres. Aku sendiri yang melihat dan mendengarnya mulai bicara melantur dan tidak masuk akal!" Timpal Hui Hyung.

"Huh? Kau yakin sudah mengatakan semuanya padaku? Ingat kau tidak boleh menyembunyikan apapun dari doktermu," kata Yuto.

Aku mengernyit bingung. "Memang apa yang aku sembunyikan? Aku ceritakan semuanya kok."

"Lalu kenapa pulang dari rumah sakit kau malah tampak lebih sakit? Aku jadi merasa tidak berguna sebagai doktermu," kata Yuto.

"Siapa yang bilang begitu?"

"Aku yang bilang, kenapa?" Sahut Hui Hyung.

"Aku hanya sedikit tidak enak badan," jawabku pendek.

Yuto menjulurkan tangannya dan memegang keningku. Astaga. Aku hanya diam saja meski kesal.

"Kau tidak demam," katanya.

"Memang. Aku tidak sakit."

"Jiwamu yang sakit!" Kata Hui Hyung lagi.

"Hei…" aku baru saja ingin protes, tapi sadar ucapannya itu tidak salah.

Yuto yang posisinya berhadapan denganku menatapku lekat. Lalu tangannya menggenggam lembut tanganku yang kuletakkan di atas meja.

"Yanan, ada sesuatu yang masih mengganjal pikiranmu? Jangan takut dan katakan saja, oke?" Katanya lembut.

Sial, aku lemah kalau diperlakukan seperti ini. Terlebih saat Yuto tersenyum dan tampak sangat manis. Tidak, aku bukan jatuh cinta pada Yuto atau apa ya. Tahu lah, aku kadang memandang beberapa pria lain seperti pria normal memandang wanita.

"Itu…" aku menolehkan kepala ke samping menghindari tatapannya.

Kulihat Hui Hyung hendak memukulku atau mungkin mengomel lagi. Namun, Yuto mencegahnya.

"Jangan Hyung. Kita tidak bisa memaksanya."

Aku menarik napas dalam. Lalu menghembuskannya kasar.

"Huh baiklah. Aku tidak tahu kalau ini penting atau tidak… tapi mungkin…"

"Ya?"

"Aku… rindu."

Seketika semua mata tertuju padaku. Bahkan Yenan dan Kino yang sepertinya baru selesai mencuci piring segera bergabung bersama di meja makan.

"Kenapa kalian?"

"Kau bahkan tidak pernah bilang merindukan Ibu sejak beliau meninggal," Kata Yenan.

"Kau juga tidak pernah bilang rindu dengannya," tambah Kino.

Aku hanya menunduk sembari tersenyum tipis. Rindu. Kata itu lewat begitu saja di benakku.

"Bagaimana menurutmu, Yuto?" Tanya Hui Hyung.

"Sebuah pertanda baik," jawab Yuto yang membuatku refleks mendongak menatapnya.

"Serius Kau?!" Heboh Yenan.

Kulihat Yuto mengangguk. 

"Sepertinya Yanan sudah mencapai tahap akhir depresinya. Dulu, ia pernah begitu kehilangan ibunya, pegangan hidup utamanya hingga ia masih belum bisa menerima kepergiannya. Lalu waktu berlalu hingga ia bisa menerima kenyataan bahwa beliau sudah pergi, dan hanya rasa rindulah yang tersisa," jelas Yuto.

"Yah, kurasa Kau benar, Dokter Adachi," kataku.

"Aku akan pergi ke funeral, untuk melihat mereka."

🍬🍬🍬

A

/n.

Yeay aku update lagi :D Gabut gaess dan aku males buka buku jadi gini :D

Btw… cerita ini hampir tamat :")

Tapi mungkin agak slow ga tiap hari lagi…

HEHEHEHE :D



A Little HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang