Kiran berjalan melewati koridor yang sudah mulai ramai. Dia berniat menyusul Uci ke kantin karena merasa lapar. Jika sudah masalah perut, tidak ada pilihan lain lagi. Kiran menundukkan kepala, tidak berani menatap orang-orang yang dia temui. Meskipun sebenarnya hal itu akan membuatnya terlihat aneh dan mencolok.
"Ini kucing ganggu banget, sih. Ngehalangin jalan," ujar seorang siswi kelas sepuluh sembari menendang seekor kucing yang berada di depannya.
"Eh, kok, kucingnya abis ditendang gitu gak marah, ya? Kirain bakalan nyakar atau gigit, minimal ngeong keraslah, ini mah enggak," sahut teman si siswi tadi. Dia ikut mencoba menendang pelan kucing yang tidak lain adalah Ran.
Kiran yang tadinya berjalan lurus tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi di sekelilingnya, kini teralihkan oleh Ran. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, bingung harus melakukan apa. Apa dia harus datang seperti seorang pahlawan demi menolong Ran?
'Aku tegur aja kali, ya. Merekanya juga gak kenal aku. Jadi, gak pa-pa,' batin Kiran menyemangati diri sendiri.
Kiran berjalan mendekati dua orang yang masih sibuk menggangu kucing yang tidak bersalah itu. Walaupun dengan keraguan yang luar biasa, akhirnya dia membuka mulutnya, hendak berbicara. "Maaf, itu kucingnya jangan ditendang-tendang, kasian," ujar Kiran tanpa menatap orang di depannya.
Dua siswi tadi langsung saling tatap, mungkin merasa heran sekaligus bingung. Salah satu dari mereka mengedikkan bahu, lalu yang satunya lagi langsung menarik tangan temannya dan mengajak pergi dari sana.
"Dia siapa? Seangkatan sama kita atau kakak kelas?"
"Gak tau, gak kenal."
"Kalau dari mukanya, sih, kayaknya anak kelas dua belas."
Suara mereka terdengar makin menjauh, Kiran mengembuskan napas lega. Memang akan lebih baik jika orang-orang itu tidak mengenal siapa dia. Jika mereka tahu siapa Kiran, pembicaraan mereka tentang dirinya akan semakin panjang. Bahkan, mungkin diperdengarkan kepada orang lainnya, terus menyebar dari mulut ke mulut. Menjadi asing ternyata tidak selalu buruk.
Kiran berjongkok di dekat Ran, kemudian dia mengelus-elus kepala kucing itu. "Mereka jahat, ya, Ran. Mentang-mentang kita gak bisa apa-apa," gumamnya pelan.
Gadis itu menggendong Ran, dia memutuskan untuk membawanya ke belakang sekolah karena kebetulan tidak jauh dari tempat dia berada. Cara gadis itu menggendong kucing begitu mirip seperti tengah mengendong anak balita. Ran pun manut saja, ia meletakkan kaki depannya di bahu Kiran seolah berpegangan agar tidak terjatuh.
"Beruntung banget kamu punya babu kayak Ranvi. Kamu jadi gembul gini," ujar Kiran gemas.
Sesampainya di tempat yang dituju, gadis yang rambutnya dikucir kuda itu menurunkan kucing dari gendongannya. Setelah kejadian ini, Kiran jadi malas pergi ke kantin meskipun rasa lapar di perutnya belumlah hilang.
"Eh, Ran. Kenapa bawa-bawa Ran?"
Entah bagaimana ceritanya ternyata Ranvi berada di tempat itu juga. Laki-laki ini sering sekali muncul tiba-tiba, di mana-mana.
"Itu tadi--"
Ranvi malah memotong, "Ini kucing aku cariin dari tadi pantesan gak nongol-nongol."
Kiran merapatkan mulut, tidak jadi bicara. Ketika Ranvi mulai agak sibuk dengan kucingnya, Kiran hendak kembali ke kelas saja. Memilih tidak acuh pada rasa lapar ataupun suara gemuruh di perutnya.
"Ran, mumpung di sini, mending ikut makan bareng sama aku terus Pak Yahya. Kebetulan makanannya juga banyak," ajak Ranvi penuh keramahtamahan.
Kiran diam, sibuk berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...