Suasana di rumah itu cukup riuh, padahal hanya ada empat orang di dalamnya. Sebenarnya hanya ada satu orang yang menjadi penyebab dari keriuhan tersebut. Wanita paruh baya yang baru pulang dari rumah kakaknya di luar kota itu begitu semangat mengeluarkan isi tasnya yang banyak diisi dengan berbagai jenis makanan. Mulut Laila--wanita itu--terus berceloteh membicarakan tentang makanan-makanan yang dibawanya.
"Ini dodolnya enak banget, kalian harus coba."
"Terus ini, rengginang sama serojanya juga renyah."
"Ini, peuyeum ketan buatan mama kamu, Dit. Kesukaan tante, nih."
Danu--suami Laila--sedang duduk bersandar di sofa karena kelelahan sambil memperhatikan istrinya. Sesekali dia tersenyum kecil sembari menggeleng-gelengkan kepala keheranan. Istrinya ini sama sekali tidak terlihat kelelahan setelah perjalanan jauh yang mereka tempuh, ditambah lagi di tengah perjalanan itu sempat hujan. Danu mungkin merasa kelelahan karena dialah yang menyetir.
"Dit, mama kamu bilang dia kangen banget sama kamu. Padahal liburan semester kemarin kamu pulang, ya," ujar Laila.
Didit dan Ranvi berdiri bersampingan, hanya sebagai pencitraan agar terlihat akur di depan Laila dan Danu. Didit sebenarnya malas berada di posisi ini, tinggi badan Ranvi yang lebih tinggi darinya membuat dia merasa sangat pendek. Tinggi badan Didit 165 sentimeter dan selisihnya dengan Ranvi hanya sekitar tujuh sentimeter.
"Iya, Tan. Mama kadang emang suka berlebihan."
"Ini, titipan dari mama kamu." Laila menyodorkan sebuah amplop kepada Didit yang langsung diterima olehnya.
"Oh, iya. Pas tante sama om gak di rumah. Ranvi nakal-nakal gak, Dit?" tanya Laila. Mendengar pertanyaan Laila kepada Didit tentang dirinya, Ranvi langsung menatap sepupunya itu seolah memperingatkan untuk tidak mengarang cerita macam-macam.
"Dia kebut-kebutan, Tan. Sampe nabrak!" ujar Didit dengan senyum jailnya.
"Didit bohong, Ma. Ngarang cerita." Ranvi segera menyela saat melihat wajah Laila sudah berubah ekspresi tadi.
"Aku belum selesai ngomong udah dia sela, Tan. Maksud aku nabrak semut."
"Kamu ini, Dit. Tante udah kaget tadi," tutur Laila kemudian tertawa kecil.
Danu, dia sudah terlelap dengan posisi masih duduk bersandar di sofa. Kelelahan membuatnya mengantuk. Dia tidak memedulikan interaksi di antara tiga orang itu yang berlangsung di depannya.
"Mama mau mandi terus istirahat dulu, lumayan cape. Papa kamu, dia tuh bener-bener pelor, nempel langsung molor," ucap Laila kepada Ranvi.
"Iya, Ma."
Setelah Laila berlalu, Didit juga segera pergi dari situ tanpa mengucapkan apa pun. Kehangatan tadi hanya drama. Ranvi dan Didit berhasil menutupi kerenggangan dan masalah yang ada di antara mereka. Mereka berdua terlalu banyak menutup-nutupi sesuatu dari orang lain.
'Dit, gue kangen kita yang dulu,' ujarnya di dalam hati.
Ranvi hanya bisa berandai-andai, ketika usahanya memperbaiki hubungan dengan Didit selalu berujung sia-sia. Namun, bukan berarti dia menyerah. Saat kata maaf sudah tidak berguna, mungkin dengan tindakan, sedikit demi sedikit bisa membuat pintu maaf itu terbuka. Ranvi harap begitu.
Didit datang kembali ke ruangan itu. Dia menuruni tangga dengan langkah cepat dan berhenti di anak tangga terakhir. Ternyata amplop yang diberikan Laila terjatuh. Setelah mengambilnya, dia membalikkan badan hendak kembali menuju kamarnya. Namun, Ranvi memanggilnya.
"Dit."
"Apa?" sahut Didit dengan malas, dia enggan menengok ke belakang di mana sepupunya berada.
"Lo tau rumah Kiran dari mana?" Ranvi bertanya dengan ragu-ragu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...