Uci datang ke sekolah lebih awal karena hari ini merupakan gilirannya mendapat piket kelas. Gadis itu berjalan dengan malas menuju kelasnya. Dia tidak sesemangat biasanya. Mata gadis berpipi gembul itu juga sembab.
Dia mencebikkan bibirnya, ternyata baru dirinya yang sudah datang ke kelas itu. Setelah meletakkan tas, Uci mengambil sapu yang berada di pojok belakang ruangan kelas. Dia menyapu dengan tidak bersemangat. Tidak lama, murid yang juga piket di hari itu akhirnya datang juga dan ikut membersihkan kelas.
Setelah selesai, Uci kembali ke tempat duduknya, dia menelungkupkan kepala. Lama-kelamaan bahunya terlihat gemetar, dia terisak.
Kebetulan Fajri piket kelas juga di hari itu, setelah selesai dengan pekerjaannya dia hendak meletakkan kembali sapu ke pojok kelas yang tidak jauh dari tempat Uci. Menyadari bahwa Uci sedang menangis, Fajri menghampirinya.
"Ci, lo kenapa?"
Uci langsung duduk tegap dan menghapus kasar air matanya. "Gak kenapa-kenapa."
"Iki gik kinipi-kinipi, kik. Dasar cewek," ujar Fajri, kemudian dia berlalu meninggalkannya dan pergi ke luar kelas begitu saja.
Uci menghentakkan kakinya karena kesal. Suasana hatinya sedang tidak baik dan Fajri malah memperburuknya.
Melihat Kiran yang sudah datang, Uci sudah tidak sabar menceritakan apa yang telah terjadi. Kiran berjalan pelan menuju bangkunya, sekali dia terlihat menguap karena mengantuk.
"Kiraaan," ucap Uci saat Kiran sudah duduk di sebelahnya.
Kiran yang menyadari mata Uci sembap langsung bertanya, "Kamu kenapa, Ci?"
"Jadi gini, kemaren pas pulang sekolah waktu aku liat rumahnya Angel, dia gak ada. Terus aku tanyain ke mama, tau gak dia bilang apa?"
"Enggak." Kiran menggelengkan kepala pelan.
"Dia bilang dia kasih Angel ke sepupu aku yang masih kecil namanya Cila. Aku gak rela, dong. Jadi, aku susulin ke rumahnya Cila. Terus kata itu bocah ... Angel dimakan kucing."
"Angel? Angel ikan peliharaan kamu?"
"Iyaaa." Uci terlihat sangat sedih kehilangan ikan cupangnya itu.
"Angel berakhir di perut kucing, Ran. Malang banget nasib dia." Uci menundukkan kepala, wajahnya terlihat sangat murung.
Kiran diam, dia bingung harus menjawab apa. Berdasarkan sebuah postingan yang pernah Kiran lihat di sosial media, jangan hanya menyuruh untuk sabar atau membandingkan dengan apa yang diri sendiri alami.
'Harus ngomong apa, ya?'
"Aku turut berdukacita buat Angel, ya, Ci." Setelah melewati proses berpikir selama beberapa detik, akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Kiran.
"Aku benci sama kucing!"
"Kita gak bisa salahin kucingnya juga, sih. Ikan itu kan emang makanan mereka." Naluri penyuka kucing dalam diri Kiran mendadak muncul.
"Kamu kenapa malah belain kucingnya, ish?" Uci terlihat kesal. "Eh, tapi ... kamu bener juga," lanjut Uci.
"Nah, iya."
"Kalo kucingnya gak salah, terus yang salah siapa? Angel? Enggak, dia kan korban. Cila? Dia masih kecil. Mama? Emak, kan, selalu benar."
Kiran hanya diam memperhatikan Uci yang entah bicara padanya atau dirinya sendiri.
"Yang salah itu aku, Ran! Harusnya aku bilang ke mama jangan kasih Angel ke siapa-siapa."
Kiran makin bingung harus berbicara apa kepada teman sebangkunya itu, alhasil dia hanya tersenyum kecil.
***
Ranvi berjalan mengikuti Malika dan Nara yang berada di depannya. Masing-masing dari mereka membawa setumpuk buku paket yang berasal dari perpustakaan atas permintaan Bu Suri--guru mata pelajaran biologi.
"Ra, kenapa gak dipake lagi bandonya?" tanya Malika.
Ranvi mengomel dalam hati karena dua perempuan itu malah berbincang-bincang. Mereka berdua tentu saja tidak merasa keberatan karena tidak membawa begitu banyak buku seperti dirinya.
"Enggak, kemaren aku pake karena buat ngehargain yang ngasih bando itu. Salah satu hadiah pas ultah." Nara menengok ke samping--tepatnya ke arah Malika--dan tersenyum.
"Ngomong-ngomong, hadiah dari aku suka gak?" tanya Malika.
"Suka banget, kamu tau aja kalo aku selalu kehabisan baterai HP karena lupa cas malemnya. Power bank itu bakalan aku bawa tiap hari."
Ranvi yang berada di belakang mereka, mempelihatkan ekspresi kesal. Namun, dua perempuan itu sama sekali tidak peduli, bahkan mereka tidak menyadarinya. Katanya makhluk peka, tetapi nyatanya apa?
Bel masuk berbunyi, mereka bertiga masih belum sampai ke kelas. Kesal karena kedua perempuan itu berjalan dengan lambat, tanpa mengatakan apa pun Ranvi mendahului mereka.
"Eh, itu anak kenapa?" Nara menatap laki-laki yang berjalan menjauh itu dengan heran.
"Gak tau," ujar Malika sembari mengedikkan bahu.
"Eh, ini udah masuk, 'kan?"
"Udah, santai aja, gak perlu buru-buru. Bu Suri bakalan maklumin, kok," ujar Malika. Mereka berdua tetap berjalan santai, walaupun sudah memasuki jam pembelajaran.
"Oh, iya. Hampir aja lupa, mumpung inget aku kasih tau kamu sekarang, ya. Kakak kelas ada yang minta nomor kamu, Al. Kasih jangan?"
"Buat apa emangnya?" Malika malah balik bertanya.
"Gak tau."
"Kalo buat bab perbucinan jangan dikasih."
"Oke, siap!" Nara tertawa kecil.
Saat mereka sampai ke ke kelas, Bu Suri sudah ada di sana. Mereka pun meminta izin untuk masuk kelas. Setelah itu Bu Suri meminta Malika dan Nara untuk membagikan buku yang mereka bawa untuk membantu pembelajaran di hari itu.
"Oh, iya. Sebelum memulai pembelajaran, ibu akan menyampaikan pesan dari Bu Utari pengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas dua belas. Barangkali di antara kalian ada yang mau mengirimkan karya berupa puisi untuk dipajang di mading, kalian bisa menghubungi Bu Utari. Jika partisipasinya bagus, Bu Utari berniat membentuk ekstrakurikuler mading," jelas Bu Suri. Guru yang masih berusia 24 tahun itu hanya tersenyum tipis saat tidak melihat seorang pun yang berminat berpartisipasi dari kelas itu. Dia tidak mendapatkan antusiasme sebagaimana yang diharapkan.
"Oke, mungkin kalian bisa pikir-pikir dulu, ya. Sekarang, buka buku paket halaman lima puluh empat, baca, setelah itu catat apa yang nanti ibu tulis di papan tulis," lanjut Bu Suri.
Saat seisi kelas sedang mencatat, Uci berbisik memanggil Kiran, "Ran."
"Apa?"
"Temenin aku ke toilet, dong," pinta Uci.
"Oke."
"Bu." Uci mengangkat tangannya.
"Iya? Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Bu Suri.
"Saya sama Kiran izin dulu ke toilet."
"Oh, iya. Silakan."
Mereka berdua akhirnya keluar dari kelas. Namun, walaupun belum sampai ke tempat yang dituju, Uci malah menghentikan langkahnya tepat di koridor yang sepi.
"Kenapa, Ci?" tanya Kiran.
"Aku cuma mau bilang, aku mau ungkapin semuanya ke Andre. Kamu semangatin aku, ya? Aku gak sabar nunggu jam istirahat buat bilang ke kamu."
"Kenapa kamu tiba-tiba mutusin buat ngelakuin hal itu, Ci?"
"Ya, aku mikirnya lama-lama juga Andre bakalan tau sendiri. Jadi, sebelum itu terjadi mending aku yang ngaku."
"Ya udah, kalo itu keputusan kamu. Aku dukung."
"Aaa makasih, Kiran." Uci tersenyum, setelah itu dia menarik tangan Kiran dan berkata, "Yuk, balik lagi ke kelas."
"Ke toiletnya gak jadi?" tanya Kiran heran. Ia pasrah saja diseret Uci seperti ini.
"Enggak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...