Sehabis pergantian jam pelajaran, siswi kelas XI MIPA 1 malah diusir keluar dari kelas oleh para laki-laki yang hendak mengganti seragam dengan pakaian olahraga. Walau sambil menggerutu karena dipaksa terburu-buru, tetapi mereka tetap keluar juga.
Setelah urusan mengganti pakaian selesai, murid kelas itu segera berkumpul di lapangan. Lebih tepatnya di pinggir lapangan yang teduh, dikarenakan matahari bersinar terik menjelang tengah hari itu.
Suara peluit disusul suara guru olahraga yang memanggil mereka terdengar. Setelah pemanasan, mereka semua disuruh berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima putaran. Beberapa di antara mereka berdecak kesal karena malas berlarian di bawah terik matahari seperti ini.
"Woy, Ranvi! Kayak cewek lo, lari aja lambat banget!" ledek Didit kepada sepupunya yang berada lumayan jauh di belakangnya. Ranvi sedikit pun tidak menghiraukan perkataan Didit.
Setelah menyelesaikan lima putaran, beberapa di antara mereka duduk selonjoran di pinggir lapangan. Mereka tampak kelelahan, berkeringat, dan wajah mereka pun tampak agak kemerahan.
"Ran, kira-kira aku turun berapa kilo, ya? Kan, udah lari-larian gini," ujar Uci semangat.
"Satu ons aja enggak, Ci. Ya kali cuma gara-gara lari gini langsung turun segitu." Sania yang duduk tidak jauh dari mereka menyahut, kemudian tertawa.
Uci, Kiran, dan beberapa siswi menatap Sania yang masih tertawa. Sania yang menyadari ada sesuatu yang salah, langsung menghentikan tawanya. Suasana mendadak menjadi canggung di sana.
"Hari ini olahraganya udah aja, ya, Pak. Panas banget soalnya, kasian saya sama yang lain, Pak," ujar satu siswi memecah suasana canggung tadi.
"Ya sudah, kalau kalian maunya gitu bapak gak masalah." Jawaban itu membuat beberapa di antara mereka bersorak kegirangan. Karena hal itu, kelas itu bisa beristirahat sebelum jam istirahat tiba.
Di sisi lain, Andre dan tiga orang sahabatnya sudah bersiap pergi ke kantin. Namun, apa yang akan Andre lakukan mengharuskan mereka menunda sejenak hal itu.
"Tunggu bentar," ujar Andre. Lalu, dia berjalan ke tempat para siswi berkumpul.
"Ci, Ran, gue mau ke kantin. Kalian mau gabung?" tawar Andre. Uci dan Kiran yang tadinya sedang duduk selonjoran langsung berdiri ketika Andre menghampiri mereka.
Uci dan Kiran malah saling bertatap-tatapan, seolah bertanya harus menjawab apa. Berbeda dengan Kiran yang bingung, Uci sedang menahan diri untuk tidak berteriak kesenangan. Dia merasakan pipinya mulai memanas, padahal baru begini saja. Jantung Uci pun berdebar-debar. Perlakuan kecil yang manis dari si dia memang tidak baik untuk kesehatan jantung.
'Kenapa aku begitu ... baperan?' Uci berkata dalam hati.
"Jadi gimana?" tanya Andre lagi.
"Iya, mau!" Gadis itu begitu bersemangat. Bisa saja dia menjawabnya dari tadi, tetapi Uci ingin menikmati sensasi menjadi remaja kasmaran terlebih dahulu. Dasar Uci.
"Permisi, di sini ada yang namanya Kak Kiran?" Seorang siswi kelas sepuluh bertubuh mungil dan membawa setumpuk buku, menghampiri murid XI MIPA 1 di pinggir lapangan.
"Ada, itu orangnya." Sania menjawab dan menunjuk ke arah Kiran.
"Ada yang nyariin kakak, orangnya di depan ruang piket. Dia nyuruh kakak segera ke sana," ujarnya.
Kiran mengangguk pelan dan tersenyum kecil sebagai respons. "Iya, makasih," ucap Kiran pelan. Siswi kelas sepuluh itu bahkan tidak mendengarnya.
Adik kelas itu pun berlalu pergi dari sana dengan wajah yang terlihat agak kesal. Mungkin karena setelah dia repot-repot datang ke sana, tetapi Kiran tidak mengucapkan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...