"Jelasin apaan, Dit? Emang ... tadi gue ngomong apa?" Jujun berlagak tidak mengerti.
"Jun, udah jelasin aja," sahut Andre.
Jujun malah diam, membiarkan Didit terus menatapnya menunggu penjelasan. Di saat mereka berempat masih terdiam, Ranvi datang. Laki-laki itu tetap tak acuh walaupun empat orang di depannya menatapnya. Ranvi dan Didit tidak pernah bertegur sapa. Mereka bertingkah seperti sepasang orang asing yang tidak saling mempengaruhi dalam hidupnya masing-masing.
Fajri berdecak, dia melihat jam tangannya sejenak. "Udah, biar gue aja yang jelasin. Si Jujun mah lama, kayak orang mau nembak cewek aja."
Didit beralih menatap Fajri, menunggu salah satu sahabatnya itu menjelaskan.
"Jadi gini, Dit. Pas pembagian rapor Jujun, kan, ambil sendiri. Nah, di situ dia tau kalau Tante Laila itu ternyata nyokapnya Ranvi juga. Terus, tiap kita main juga, motor si Ranvi nangkring depan rumah lo," jelasnya rinci, dia mengambil jeda sejenak. "Kita gak pernah bahas karena kita tau lo nyembunyiin ini bukan tanpa alasan. Nah ... gitu," lanjutnya lagi. Napas laki-laki itu sampai terengah-engah.
"Terus selama ini ngapain gue ribet-ribet nyembunyiin ini semua?" gumam Didit pelan, tetapi masih bisa didengar ketiga sahabatnya.
"Jun, lo punya hutang ke gue. Barusan gue jadi jubir lo, cape ngomong panjang lebar." Fajri berbisik pada Jujun.
"Ya udahlah, kalau kalian udah tau. Seenggaknya gue jadi gak usah ribet lagi nyembunyiin ini dari lo pada," tandas Didit, telunjuknya menunjuk tiga orang di depannya secara bergantian.
"Wahai kawan-kawanku yang baik hati dan tidak sombong, marilah kita memasuki kelas karena waktu istirahat telah habis sejak dua menit lalu." Fajri menarik dan mendorong satu per satu temannya untuk masuk ke kelas. Dia memang sudah memerhatikan waktu melalui jam tangannya dari tadi.
Diam-diam, Andre, Jujun, dan Fajri merasa lega karena ternyata hal ini tidak menimbulkan masalah di antara mereka.
Selain fakta bahwa ternyata Didit dan Ranvi adalah saudara sepupu, mereka juga mengetahui hal lain. Didit tidak ingin orang-orang membandingkan dia dengan sepupunya, karena karakter mereka yang begitu berbeda. Didit tidak menginginkan hal itu.
Andre, Jujun, dan Didit juga bangga kepada diri mereka sendiri karena ternyata bisa sepeka dan sepengertian itu.
***
Sesuatu yang terjatuh dari tas Kiran menimbulkan bunyi berdenting ketika menyentuh lantai. Kiran yang hendak mengeluarkan buku langsung mencari benda yang jatuh itu.
Setelah mengetahui apa yang terjatuh, gadis itu menepuk dahinya sendiri. "Gawat," ujarnya.
"Kenapa, Ran? Apanya yang gawat?" tanya Uci dengan raut wajah bingung.
Kiran membungkukkan tubuhnya, mengambil benda yang jatuh. Lalu dia menunjukkannya kepada Uci.
"Itu kunci, kenapa?" tanya Uci masih bingung.
"Tadi Kak Kay ke sini, pinjam kunci rumah. Aku malah kasih kunci yang rusak, gantungan kuncinya sama jadi aku gak bisa bedain," lirih Kiran cemas. Masalah baru telah mengucapkan selamat datang kepadanya.
"Semoga dia enggak bikin kamu keliatan luar biasa jahat, ya. Semoga enggak, karena itu gak enak." Uci memalingkan wajah sebentar, menatap ke luar jendela kelas.
"Kamu ... kenapa, Ci?" tanya Kiran yang menangkap keanehan dari perkataan Uci.
"Hah? Apa yang kenapa, Ran?" Uci gelagapan sendiri. "Oh, yang tadi. Aku cuma bilang salah satu kalimat dari cerita yang aku baca, terus ... kayak cocok aja buat keadaan kamu, gitu." Uci tersenyum, senyum yang tidak setulus biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...