"Apakah seseorang yang saling mengenal sebatas nama itu bisa disebut sebagai teman?"
***
Matahari yang bersinar terik membuat sebagian besar murid SMA Aludra yang sedang mengikuti upacara bendera mengeluh kepanasan. Ketika kembali ke kelas setelah upacara selesai, Kiran langsung mengambil botol air minum yang ada di dalam tasnya. Untuk melepas dahaga, dia meminumnya beberapa teguk. Gadis dengan rambut yang dikucir kuda itu sebenarnya merasa agak pusing, tetapi karena malas pergi ke UKS dia lebih memlih menahannya. Sementara Uci--teman sebangkunya--sedang berada di UKS walaupun dalam keadaan baik-baik saja. Penyebabnya adalah sesuatu yang terjadi saat upacara bendera berlangsung tadi.
"Panas banget, ya, Ran?" Uci memosisikan diri agar tidak kepanasan dengan menggunakan bayangan dari orang di depannya.
"Iya," jawab Kiran singkat.
"Pegel gak?" tanya Uci lagi, dengan berbisik tentunya.
"Lumayan."
"Barisan kelas sebelah berisik banget, ya, Ran."
"Iya."
"Itu pembina lagi ngomong apa, sih? Aku gak ngerti. Suaranya gak jelas, cepet banget lagi ngomongnya. Dia guru BK, 'kan?" Uci berbicara dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya.
"Seru ngobrolnya?"
Uci langsung menengok ke samping saat bukan suara Kiran yang menyahutnya. Ternyata Pak Pano sedang berdiri di dekatnya sembari melipat tangan di depan dada, entah sejak kapan guru mata pelajaran prakarya itu ada di sana.
"Eh, Pak." Uci tersenyum canggung.
"Apa yang kamu obrolin sampe gak dengerin amanat pembina di depan?"
"Tadi saya ... saya bilang ke Kiran kalo saya pusing karena gak sarapan tadi pagi, Pak." Tangannya bergerak menyentuh kepala untuk meyakinkan Pak Pano bahwa dia memang merasa pusing. Uci berbohong karena bingung harus beralasan seperti apa lagi. Jadi, dia hanya mengatakan apa yang terlintas di benaknya, walaupun hal itu merupakan sebuah kebohongan.
"Ya sudah, kamu ke UKS saja."
Uci menurut dan segera keluar barisan. Jika tidak melakukan hal itu, maka kebohongannya akan langsung terbongkar saat itu juga. Seorang anggota PMR yang sedang berjaga di belakang barisan langsung menghampiri gadis dengan rambut dikepang itu.
Uci masih belum kembali dari UKS, entah apa yang dia lakukan di sana.
Dari bangku belakang, Kiran bisa menjadi pengamat apa yang dilakukan oleh teman-teman sekelasnya. Sekadar mengamati, tanpa sedikit pun niat untuk berada di antara mereka.
Ada yang aneh dengan dua orang yang tempat duduknya berada di depan Kiran hari ini. Nara duduk sendirian di tempatnya dan Malika tengah bercengkerama bersama beberapa orang di bangku depan. Malika terlihat seperti sedang menghindari Nara. Memilih untuk tidak peduli, mata Kiran beralih mengamati penghuni lain di kelas itu. Kali ini, matanya terfokus ke empat orang laki-laki yang duduk di tempat paling belakang. Entah apa yang mereka bicarakan, mereka seperti tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan.
"Persahabatan itu hubungan timbal balik, sama-sama saling memanfaatkan. Bener, 'kan? Mereka gitu juga gak, ya?" gumamnya dengan suara yang pelan.
Kiran segera memalingkan wajahnya saat satu di antara empat orang itu menatap tepat ke arahnya. Namun, percuma. Dia sudah tepergok lagi oleh orang yang sama. Padahal tidak hanya orang itu yang sedang dia amati. Entah mengapa, sebagian orang sering menyadari jika ada yang mengamatinya dari jauh. Entah karena insting yang tajam atau apa pun itu, Kiran tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...