15. Improvisasi Karet Gelang

49 10 18
                                    

Setibanya Kiran di rumah, ternyata Ita juga sudah pulang. Ita terlihat sangat kelelahan. Ibunya itu tengah duduk bersandar di kursi sembari memejamkan mata. Namun, saat Kiran datang, dia langsung terbangun.

"Keadaan Om Gilang gimana, Bu?" tanya Kiran setelah mencium tangan ibunya.

"Alhamdulillah, udah mendingan. Ran, kalo udah ganti baju, tolong beliin bakso di tempat langganan ibu, ya. Sekalian buat kamu juga."

"Iya, Bu." Saat itu Kiran memang belum sempat menyiapkan makanan, tadi pagi dia hanya memasak untuk sarapannya sendiri. Selain kelelahan, Ita pasti merasa lapar juga.

Setelah mengganti pakaian, sebagaimana permintaan Ita, Kiran pergi ke tempat bakso langganan ibunya itu. Untuk sampai ke sana, dia harus berjalan kaki sekitar lima menit.

Bukan sebuah kebetulan Kiran menemukan keberadaan Ranvi juga di tempat itu. Beberapa kali, mereka pernah bertemu di sana dengan tujuan yang sama tentunya.

Kiran berdiri agak jauh dari Ranvi, laki-laki itu sepertinya tidak menyadari kehadiran Kiran di sana. Di meja yang berada di depan Ranvi terdapat sebuah kantung plastik berisi bakso pesanan laki-laki itu, tetapi dia masih belum beranjak dari sana.

Walaupun sudah sore, tetapi matahari masih bersinar terik. Alhasil Kiran yang membiarkan rambutnya terurai merasa kegerahan. Dia tidak terbiasa.

"Neng, nunggu agak lama gak pa-pa? Istri saya yang lagi ngidam minta dibawain seblak sekarang juga," ujar pria penjual bakso itu kepada Kiran. Kiran yang paham dengan kondisi tersebut pun mengiyakan.

Setelah beberapa pembeli pergi, akhirnya Kiran bisa duduk di tempat yang sudah disediakan di sana. Tadi tempat itu penuh. Saat itu, Ranvi yang masih asik dengan ponselnya masih belum juga menyadari keberadaan Kiran.

Kiran mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah karena kegerahan. Rambut yang dia biarkan terurai benar-benar membuatnya merasa gerah dan tidak nyaman.

Tidak jauh dari lapak penjual bakso itu, terdapat seorang wanita paruh baya yang berjualan keliling menjajakan nasi bungkus dagangannya. Dia beristirahat sejenak di pinggir jalan, mungkin karena kelelahan. Ranvi menghampirinya dan membeli satu nasi bungkus dari wanita itu.

Ranvi kembali ke tempat lapak penjual bakso tadi. Dia melepas karet gelang dari nasi bungkus yang baru saja dia beli dan menyodorkannya kepada Kiran.

Kiran mengernyitkan dahi karena tidak mengerti dengan maksud dari salah satu teman sekelasnya itu. Otak Kiran belum bisa memahaminya.

"Buat ikat rambut."

Kiran paham sekarang. "Tapi nanti itu nasi bungkusnya berantakan kalo gak dikaretin."

"Gak pa-pa," ucap Ranvi.

Kiran pun mengambil karet gelang itu dan segera menggunakannya sebagai ikat rambut.

"Dek! Sini, Dek!" Ranvi melambaikan tangan kepada seorang anak kecil yang berada di seberang jalan. Anak laki-laki yang membawa ukulele itu langsung berlari menghampiri Ranvi.

"Ada apa, Kak?" tanyanya.

"Nih, buat kamu." Ranvi menyodorkan nasi bungkus yang karet gelangnya sudah diberikan kepada Kiran tadi.

"Wah, makasih, Kak. Kebetulan saya lagi laper."

"Iya, sama-sama."

Anak laki-laki itu berlari kembali ke seberang jalan. Tangan kirinya memegang ukulele dan tangan kananya memegang makanan pemberian Ranvi. Kali ini, dia berlari dengan hati-hati karena takut nasi bungkus yang dibawanya tumpah.

"Ran, aku duluan, ya. Selamat menunggu mamang penjual bakso," ujar Ranvi sebelum berlalu pergi menuju sepeda motornya yang tidak jauh terparkir dari sana. Kiran hanya mengangguk kecil sebagai tanggapan.

Meow!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang