Hujan yang terus menerus turun sejak kemarin sore membuat jalanan menjadi licin. Air menggenang di beberapa tempat. Para pengendara terlihat berhati-hati dengan melambatkan laju kendaraannya, mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Pagi yang dingin di akhir pekan ini tidak mengganggu dua orang paruh baya yang sedang bercengkerama di sebuah warung bakso pinggir jalan itu. Jaket dan semangkuk bakso sudah cukup menghangatkan tubuh mereka.
"Ita, kamu gak perlu kerja lagi. Biar aku yang nanggung biaya hidup kamu," ujar pria paruh baya itu.
"Kak Gilang ini ngomong apa? Mana mungkin aku bergantung sama kakak," tutur Ita sambil menunduk. Tangannya bergerak mengaduk-ngaduk mie bakso yang tersisa setengah itu tanpa berniat memakannya lagi. Perutnya mendadak kenyang.
"Aku itu kakak kamu, Ta. Kamu bisa bergantung sama aku. Kamu harus berhenti kerja, itu perintah yang gak bisa kamu tolak," tegas pria paruh baya itu.
"Iya, aku berhenti kerja, tapi aku gak bakalan bergantung sama kakak. Aku hidup dari gaji suamiku juga udah cukup." Ita masih terus menunduk, dia tidak berani menatap mata Gilang.
"Kamu ini keras kepala, ya. Kalo aku liat kamu kekurangan, kamu gak bisa nolak bantuanku."
"Iya."
"Bagus. Sekarang aku berangkat kerja dulu. Kamu ... pulang! Aku titip Kay, lusa aku jemput dia."
"Iya, Kak." Ita mengangguk. Jika kakaknya itu--Gilang--sudah memerintahkan sesuatu padanya, maka tidak ada pilihan ya atau tidak. Namun, harus.
Setelah membayar, pria yang bekerja sebagai manajer di sebuah hotel itu berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Ita menatapnya lekat dengan pikiran yang berkecamuk.
***
Suasana pagi ini benar-benar mendukung untuk tetap bergelung di dalam selimut. Pulau kapuk itu seolah enggan melepaskan si empunya. Namun, pekerjaan rumah yang sudah menanti mencegahnya untuk terus berleha-leha.
Kiran bersiap melakukan tugasnya. Diawali dengan memasak, menyiapkan sarapan untuk sang putri yang masih tertidur nyenyak. Gadis berambut sedikit melewati bahu yang dibiarkan terurai itu memakai celemeknya. Dia tidak pandai memasak, hanya beberapa yang dia bisa dan rasanya cukup lumayan.
"Kiran!"
Kiran terperanjat kaget. Kay membuatnya terkejut. Tiba-tiba, dia sudah ada di belakangnya. Kiran yang sedang mengiris bawang bahkan sampai menodongkan pisau, untung saja tidak kena.
"Aku bantu nyapu, ya?" ujarnya. Dia tidak terlihat kaget atas reaksi Kiran yang sempat menodongkan pisau ke arahnya.
"Jangan, Kak! Biar aku aja."
Ini demi kebaikan Kiran Bukannya membantu, Kay malah akan merepotkannya dengan omelan yang akan dia dapat dari Ita.
"Gak pa-palah, Ran. Aku mau bantu kamu, kasian kamu kalo ngerjain semuanya sendirian." Kay terus-terusan membujuk Kiran.
"Biar aku aja, Kak. Gak pa-pa, kok." Kiran masih tetap dalam pendiriannya. Masa bodoh dengan rengekan Kay, dia hanya tak ingin terkena masalah.
Kay menyerah, sekarang dia pergi dari dapur dan langsung duduk di sofa yang ada di ruang tengah kemudian menyalakan televisi.
Akhirnya Kiran selesai dengan masakannya yang kemudian dia sajikan di meja makan. Dia juga segera memanggil Kay.
"Kak Kay, sarapannya udah siap!"
"Iya!"
Setelah itu, Kiran akan mandi. Tubuhnya terasa lengket karena kemarin sepulang sekolah dia tidak mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...