2. Sang Putri dan Kelemahannya

66 17 17
                                    

"Eh, maaf! Sakit, ya? Aku gak sengaja," ujar Kiran panik. Dia sampai meminta maaf kepada kucing berbulu oranye yang ekornya tidak sengaja dia injak tersebut.

Lalu, gadis bernama lengkap Kiran Kanaya itu berjongkok. Tangannya bergerak hendak mengelus si kucing, tetapi kucing itu malah berlari menjauh. Bulu-bulunya mengembang menandakan dia sedang takut.

"Maaf, ya! Gak sengaja!" teriak Kiran seakan bertujuan agar kucing yang sudah berlari menjauh itu mendengarnya.

Saat Kiran masih merasa bersalah, Ranvi terlihat sedang menahan tawa. Orang yang ditertawakan malah berdiri mematung dengan raut wajah kebingungan bercampur malu. Berlama-lama di situ bukan pilihan yang benar. Berlari menjauh seperti kucing tadi itu menjadi keputusan yang tepat.

***

Napas Kiran terengah-engah setelah berlarian tadi. Hal itu juga membuatnya haus. Dia segera mengambil botol air miliknya yang masih terisi setengah dan meneguknya sampai hampir habis.

"Kiran."

Itu suara Malika. Menjadi pertama kalinya Malika berbicara kepada Kiran lagi sejak berpindah tempat duduk.

"Iya, kenapa?"

"Jadi gini, kata Pak Pano besok bakalan ada murid baru di kelas ini. Aku tetep sebangku sama Nara, ya? Terus, kamu sama murid baru itu, gimana?"

Pantas saja Malika mengajaknya berbicara, ternyata gadis berkulit putih dengan pipi chubby itu memiliki maksud tertentu.

Sebelum menjawabnya Kiran tersenyum kecil. "Oke, gak masalah, kok."

Sejak saat itu, sudah pasti Malika tidak akan menjadi teman sebangku Kiran lagi. Entah bagaimana dan siapa murid baru yang akan menjadi teman sebangku baru Kiran itu.

"Guys, foto bareng, yuk! Cewek-cewek aja, lumayan buat kenang-kenangan," ajak Sania.

Mendengar ajakan Sania, atensi seisi kelas langsung tertuju kepadanya. Para laki-laki memilih tak acuh, sedangkan para perempuan langsung riuh menyetujui usulan Sania. Dalam situasi itu, Kiran hanya bisa diam.

Mereka langsung berkumpul di belakang kelas dan mulai memosisikan dirinya masing-masing. Kiran? Dia masih duduk diam di tempatnya. Tatapannya terfokus pada papan tulis kosong yang ada di depan kelas.

"Kiran, sini!"

Kiran menoleh, setalah mendengar namanya disebut Sania dia masih tetap diam.

"Ran, sini!" Gadis berambut sepunggung yang dibiarkan terurai itu kembali memanggil nama Kiran, sehingga si pemilik nama pun terpaksa menghampiri mereka.

"Tolong fotoin, ya." Sania memberikan ponselnya kepada Kiran, yang langsung diresponnya dengan anggukan kecil.

Satu foto diambil. Sania melihat hasinya terlebih dahulu, raut wajahnya memperlihatkan ketidakpuasan. "Buram, Ran. Sekali lagi, ya."

Satu foto lagi diambil, foto siswi XI MIPA 1 tanpa Kiran di dalamnya. Tidak puas dengan satu foto, mereka meminta Kiran untuk mengambil beberapa foto lagi. Selesai. Empat belas orang itu sibuk dengan hasil fotonya sampai lupa mengucapkan terima kasih. Kiran memilih kembali ke tempat duduknya, kemudian menelungkupkan kepala di atas meja, berusaha meredam suara gaduh yang makin membuat suasana hatinya buruk.

***

Di sore hari, matahari masih bersinar terik. Perjalanan Kiran dari sekolah ke rumah menjadi bertambah melelahkan.

Kiran mengusap peluh dari dahinya dengan penggung tangan. Gadis itu mengernyitkan dahi karena ternyata pintu rumahnya tidak dikunci. Ibunya yang bekerja sebagai kasir di sebuah toko sembako biasanya pulang sekitar pukul setengah enam petang. Ayahnya bekerja di luar kota. Hanya empat orang yang memegang kunci rumah ini, Kiran, ibunya, ayahnya, dan seorang manusia lagi.

Meow!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang