Kiran berdiri menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan sendu. Seragam putih abu-abu sudah melekat di tubuhnya. Rambut yang sedikit melewati bahunya itu belum disisir sehingga terlihat agak kusut.
Setelah beberapa menit hanya berdiri mematung, Kiran mengembuskan napas panjang. Lalu, tangannya bergerak menyisir rambut dan mengucir kudanya. Selesai bersiap-siap, dia menyambar tas yang berada di atas tempat tidur kemudian menyampirkannya ke bahu.
Berhubung jarak ke sekolah tidak terlalu jauh, Kiran menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Di perjalanan, beberapa orang yang Kiran kenal melewati dia begitu saja tanpa menyapa, setidaknya hanya untuk berbasa-basi.
SMA Aludra, tempatnya menempuh pendidikan selama satu tahun lebih ini. Satu tahun yang berjalan monoton, bagi Kiran. Pagi ini sekolah sudah ramai, sepeda motor yang terparkir sudah terbilang banyak. Maklum saja, ini hari Senin.
Jumlah siswi di kelas Kiran ganjil, ada lima belas orang. Oleh karena itu, ada satu siswi yang duduk sendirian. Namanya Nara, tempat duduknya berada tepat di belakang Malika--teman sebangku Kiran. Namun, Malika lebih akrab dengan Nara dibanding dengan dirinya. Kiran tahu alasan Malika mau menjadi teman sebangkunya, dia hanya tidak ingin duduk di bangku paling belakang. Malika sebenarnya sama sekali tidak berniat duduk sebangku dengan Kiran.
Saat upacara bendera di hari Senin, Kiran selalu menjadi penutup barisan, tidak ada teman yang berdiri di sampingnya seperti yang lain. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, sudah biasa. Malika? Dia berada paling depan dengan Nara di sampingnya.
Pak Pano selaku pembina upacara di hari itu sedang memberikan amanatnya. Beberapa siswi yang sekelas dengan Kiran memilih tidak mendengarkan dan malah sibuk berbisik-bisik. Sesekali mereka tertawa kecil, entah membicarakan apa. Kiran hanya bisa menunduk, menghindari sorot matahari yang membuatnya silau. Sesekali dia melakukan gerakan kecil di kakinya karena merasa pegal.
Jujun yang berbaris paling belakang malah bertingkah jahil dengan mencabut rambut orang yang ada di depannya. Kata umpatan langsung keluar dari mulut Didit yang diganggu Jujun. Jujun memang orang yang bisa dibilang usil, dia akan menjaili orang di dekatnya jika ada kesempatan.
Guru yang seharusnya bernama Vano, tetapi karena adanya kesalahan penulisan di akta kelahiran menjadi Pano itu menatap tidak suka ke barisan laki-laki XI MIPA 1. Mereka sudah pasti akan terkena omelan dari wali kelasnya itu.
Upacara bendera selesai, para murid SMA Aludra berhamburan masuk ke dalam kelas masing-masing. Murid yang terlambat dan tidak memakai atribut sebagaimana seharusnya menjadi pengecualian. Mereka masih berada di lapangan dihujani dengan nasihat yang lebih terdengar seperti omelan dari guru BK. Sudah bisa ditebak, para murid itu pasti akan dihukum lari mengelilingi lapangan atau membersihkan kamar mandi.
Kiran duduk di kursinya kemudian memasukan topi miliknya ke dalam tas. Gerakan itu membuat dia menoleh ke bangku belakang. Malika yang duduk di samping Nara sedang mengibas-ngibaskan topi ke wajahnya sambil mengeluh kepanasan dan Nara tertawa karena hal itu. Saat Pak Pino masuk ke dalam kelas, Malika segera berpindah tempat ke samping Kiran.
"Selamat pagi semuanya," sapa Pak Pano memulai kegiatan pembelajaran di hari itu. Namun, ada yang berbeda. Wajah guru prakarya itu tidak seramah biasanya.
"Bapak kecewa sama kalian. Waktu upacara kelas ini kelihatan paling ribut dan menjadi kelas dengan pelanggaran yang paling banyak di upacara tadi, datang terlambat, tidak memakai atribut. Kalian itu sudah kelas sebelas, seharusnya memberikan contoh yang baik kepada adik kelas."
Kelas hening. Sebagian dari mereka mendengarkan, sedangkan sebagian lainnya hanya terlihat mendengarkan padahal nyatanya tidak. Entah apa yang tengah mereka pikirkan sebenarnya. Suara celotehan Pak Pano di depan sana dianggap angin lalu.
Pak Pano duduk di kursinya kemudian mengisi buku agenda kelas. Dia terlihat mengangguk-angguk. "Absensi kelas ini bagus, jarang ditemui murid yang bolos tanpa keterangan. Pertahankan."
Setelah memberikan nasihat kepada anak muridnya, Pak Pano mulai menulis materi di papan tulis. Nara yang bermata minus, kesulitan membaca apa yang tertulis di papan tulis. Malika yang menyadari itu langsung menoleh ke belakang dan tersenyum sambil mengangguk.
"Kiran," panggil Malika dengan berbisik.
Kiran menoleh ke samping. "Apa?" tanya Kiran pelan.
"Mata Nara, kan, minus. Terus dia belum beli kacamata lagi, kacamata dia rusak. Jadi, buat sementara waktu kamu tukeran tempat duduk sama dia, ya?"
"Oh, oke." Kiran mengangguk pelan dan segera memindahkan barang-barangnya ke bangku belakang. Wajah Malika dan Nara terlihat sangat senang karena Kiran mau berpindah tempat duduk.
'Malika ngelakuin ini pasti karena dia emang mau jadi temen sebangku Nara,' batin Kiran.
Beberapa detik kemudian, Kiran langsung menggeleng-gelengkan kepala. 'Enggak, Ran. Malika itu cuma peduli sama sahabatnya yang lagi kesusahan.'
***
Esoknya, Nara sudah memakai kacamata minus sebagaimana harusnya. Namun, tempat duduk mereka sama sekali tidak berubah. Nara dengan Malika, lalu Kiran sendirian. Tidak masalah, Kiran tidak keberatan.
Di hari itu Malika maupun Nara tidak mengajak Kiran berbicara, seolah di belakang bangku mereka memang tidak ada siapa-siapa. Membicarakan kembali mengenai tempat duduk pun tidak.
Di jam istirahat, Kiran pergi sendirian menuju halaman belakang sekolah. Letak tempat itu membuat orang malas untuk datang ke sana. Di bawah pohon mangga yang rindang adalah tempat favorit Kiran. Bahkan, gadis enam belas tahun itu pernah tertidur dari jam istirahat sampai jam pulang sekolah sambil bersandar di pohon itu. Untung saja, waktu itu jam kosong. Jika bukan, mungkin Kiran akan dianggap bolos.
Kiran memejamkan mata, menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. Tempat ini tenang, suara berisik dari sekolah terdengar samar. Kiran duduk bersandar ke batang pohon dengan kaki berselonjor. Rerumputan yang dia duduki terasa agak lembap, tetapi gadis itu tidak menghiraukannya.
"Hei!"
Suara itu membuat Kiran tersentak kaget, karena biasanya tidak ada yang datang ke situ. Sontak, dia langsung membuka mata.
"Kamu lagi tidur, ya? Kayaknya aku ganggu," ujar laki-laki yang berdiri di depan Kiran.
"Eh, eng-enggak."
Laki-laki itu mengangguk-angguk, kemudian duduk di samping Kiran. Hal itu membuat Kiran bergeser menjauh, walau posisi mereka sebelumnya pun tidak terlalu dekat.
"Kamu ngapain di sini, Ran?" tanyanya. Tentu saja dia mengenal Kiran, karena mereka sekelas. Laki-laki itu, Ranvi.
"Enggak ngapa-ngapain."
Kiran menatap ke depan, menghindari kontak mata dengan Ranvi yang sedang menatapnya dari samping.
"Pasti kamu terlalu malas, ya, buat nanya aku ngapain ke sini? Kalau gitu aku kasih tau, deh. Aku tadi ngejar kucing, tapi pas lewat sini ternyata ada orang."
Kiran diam. Dia bingung harus berbicara apa. Jika ada yang melihatnya dengan Ranvi sekarang, dia bisa terkena masalah. Kiran bisa dituduh macam-macam dengan Ranvi. Pergi dari situ mungkin keputusan yang benar.
"Aku ... aku ke kelas duluan, ya." Setelah mengucapkan itu Kiran langsung berlari menuju ke kelasnya. Dia berlari secepat mungkin seolah ada seekor anjing galak yang mengejarnya.
Dikarenakan tidak berhati-hati dengan langkahnya, tidak sengaja gadis itu menginjak sesuatu milik makhluk lain.
"Meow!"
Ekor kucing.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/223422388-288-k443601.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Meow!
Teen FictionKiran Kanaya, seseorang yang seringkali merasa tidak berguna. Seseorang yang belum menemukan tujuan hidupnya. Terasing dan juga mengasingkan diri. Kemunculan Ran--si kucing berbulu oranye--dan beberapa orang yang perlahan masuk ke dunianya, membuat...