(39)

7.9K 764 19
                                    

Gue menatap langit kamar dan sesekali juga melirik jam disaat yang bersamaan, sekarang udah hampir jam lima sore tapi lelaki yang gue tunggu belum juga keliatan wujudnya.

Apa yang tadi pagi mengusap kepala gue sebelum pergi itu beneran suami gue? Apa yang tadi pamit dan ngasih tahu gue bakalan langsung pulang kalau kerjaannya selesai beneran Mas Juna?

Apa gue gak lagi halusinasi doang sangking merasa bersalah? Apa gue akan bersikap separah itu cuma karena sangat ingin bicara sama Mas Juna? Beneran gue?

Atau memang yang tadi pagi bukan cuma halusinasi gue? Mas Juna beneran bersikap manis seperti biasa, tapi kalau memang Mas Juna mulai bersikap seperti biasa, kenapa jam segini Mas Juna malah belum pulang? Apa Mas Juna berubah pikiran pikiran lagi?

Aish gue ini kenapa? Bukannya gue yang milih mendiamkan Mas Juna beberapa hari terakhir? Tapi kenapa sekarang malah kaya gue yang semberaut sendiri? Apa Mas Juna beneran marah sama gue? Kalau iya bakalan butuh usaha banyak buat ngebujuk kayanya.

Udahlah gak mau terlalu gue pikirin, dari pada gue semberut gak jelasn dikamar, mending turun kedapur nyari cemilan apa yang bisa dimakan, terlalu banyak pikiran juga ambil andil bikin laper mendadak.

Dengan langkah gontai, gue menuruni tangga langsung ke arah dapur, gue sebenernya ngeliat Mas Ijaz yang menatap gue aneh dari ruang tamu tapi malas gue ladenin, yang ada tar spoilernya makin banyak, makin penasaran tar gue.

Itu mending kalau Mas Juna langsung berdiri didepan mata gue jadi bisa langsung gue tanyain, lah ini, boro-boro gue tanyain, kapan pasti pulangnya aja gue gak tahu, nasib-nasib.

"Kenapa Dek? Lusuh amat?" Tanya Mas Ijaz yang nyusulin gue ke dapur, dasar Abang gak pengertian, bisanya bikin spoiler dramatis doang.

"Dek! Kamu_

"Jangan ngomong sama Aya." Potong gue melempar kotak tisu yang kebetulan ada didepan gue, berjalan mendekat ke arah kulkas, gue ngambil susu kotak gue dan milih langsung balik masuk ke kamar.

"Mau kemana Dek? Mas dicuekin juga ni sekarang?" Pertanyaan Mas Ijaz yang gue abaikan.

Gue masuk ke kamar dan mendudukkan tubuh gue disofa, menyandarkan tubuh gue dengan kepala menengadah menatap langit-langit kamar, tatapan kosong dengan pemikiran entah terbang kemana.

"Ish, kenapa Mas Juna lama?" Gumam gue memejamkan mata pasrah.

"Mas disini." Dan ini suara Mas Juna.

Gue langsung membuka mata gue dan mendapati Mas Juna juga duduk menyandarkan tubuhnya disofa tepat disebelah gue.

"Mas kapan pulang?" Tanya gue mendadak berubah canggung.

"Lebih lama dari kamu mulai masuk ke dapur dan mengabaikan Ijaz, kamu gak ngeliat Mas pulang?" Hah? Gue menggeleng pelan karena memang gak sadar Mas Juna masuk.

"Kalau Mas belum pulang, itu susu kotak kamu siapa yang bawa pulang?" Ah bener, tadi gue minta beli karena memang udah kosong di kulkas, kenapa gue gak sadar pas ngambil tadi udah ada banyak?

"Kebiasan memang." Cicit Mas Juna kembali mengusap kepala gue, Mas Juna bahkan menyunggingkan senyumannya.

"Mas udah gak marah sama Aya?" Tanya gue dengan tatapan belum lepas dari Mas Juna.

"Kapan Mas bilang marah sama kamu? Bukannya kamu yang mendiamkan Mas beberapa hari ini?" Tanya Mas Juna masih dengan ekspresi yang sama, Mas Juna bahkan masih menyunggingkan senyumannya disat kaya gini.

"Maaf." Dan lagi-lagi gue mengucapkan kata maaf didepan Mas Juna.

"Gak perlu minta maaf, jadi sekarang siap denger penjelasan Mas?" Dan gue mengangguk cepat.

"Duduk yang bener dulu, ngadep Mas sini." Gue memperbaiki posisi duduk gue dan berbalik menghadap Mas Juna.

"Alasan Mas gak menjawab panggilan kamu waktu itu bukan karena Mas sibuk mikirin Rani sampai lupa waktu tapi Mas memang gak sadarkan diri setelah minum segelas kopi direstaurant tempat Mas sama Rani janjian." Hah?

Gue sama sekali gak bisa nutupin keterkejutan gue dengan penjelasan Mas Juna, gimana bisa Mas Juna gak sadarkan diri cuma karena segelas kopi? Apa itu mungkin? Itu kopi apa obat tidur?

"Terus gimana Mas bisa tahu Aya dirumah sakit? Mas Ijaz bilang Mas tahu lewat Kak Rian, gimana bisa?" Kalau memang Mas Juna gak sadar apapun, gimana bisa Mas Juna malah tahu keadaan gue dari Kak Rian?

"Aris yang membuat Ian menjawab dimana keberadaan Mas tentunya butuh paksaan dan sedikit kekerasan untuk membuat Ian buka mulut, beruntungnya Aris sampai disana sebelum Rani berbuat macam-macam." Mas Aris kalau kerja juga gak akan setengah-tengah.

"Jadi luka Mas ini karena berantem sama Kak Rian?" Tanya gue mengusap sudut pipi Mas Juna yang masih menyisakan sedikit lebam.

"Masih sakit?" Tanya gue yang membuat Mas Juna ikut menggenggam tangan gue yang sedang mengusap pipinya.

"Rasa sakitnya bukan apa-apa dibandingkan rasa sakit kamu, maaf Mas teledor Ay." Mas Juna beralih memeluk gue tiba-tiba dengan tubuh sedikit bergetar.

"Aya juga gak papa Mas, sekarang beneran udah gak papa." Gue ikut memeluk Mas Juna sembari mengusap bahunya pelan.

"Tapi apapun, Mas tetap berhutang maaf sama kamu, Mas salah paham hanya karena foto, Mas bahkan gak nanya pe jelasan kamu lebih dulu, itu kesalahan Mas." Ucap Mas Juna melepaskan dekapannya.

"Aya juga salah karena gak nanya keadaan Mas lebih dulu, Aya gak tahu posisi Mas tapi malah ikut emosi sendiri, Aya minta maaf, satu sama ya Mas." Gue tertawa kecil yang membuat Mas Juna menjitak kecil kepala gue.

"Mas, Mas udah tahu kalau Aya salah paham tapi kenapa Mas tetap terima semua perlakuan Aya beberapa hari ini? Mas gak marah atau kesal gitu?"

Mas Juna bisa aja protes dengan sikap gue karena nyatanya bukan cuma Mas Juna yang salah tapi gue juga, gue marah bahkan tanpa sadar kalau gue ini sama salahnya, gimana bisa Mas Juna sesabar itu?

"Ah! Itu karena Mas terlalu bahagia mendapatkan kamu sebagai pendamping Mas." Ini maksudnya apa? Gue menatap Mas Juna bingung.

"Kenapa mendadak Mas ngomong begitu? Bikin Aya malu aja." Gue lagi nanya alasan Mas Juna sabar banget ngadepin kelakuan gue tapi kenapa mendadak berubah arah?

"Sebenarnya Mas gak bicara jauh sama Ayah seperti pemikiran kamu, Mas sama Ayah duduk didepan ruang inap kamu jadi Mas sama Ayah mendengarkan semua pembicaraan kamu sama Bunda waktu itu." Jelas Mas Juna bahkan lengkap dengan senyum tertahannya.

"Hah? Jadi Mas denger semuanya? Ayah juga?" Gue langsung menelungkupkan wajah gue nahan malu, Ayah juga denger nambah bikin malu gue berlipat kali.

"Kamu kenapa Ay?" Mas Juna nanya tapi tangannya sibuk nutupin wajahnya nahan tawa memperhatikan gue.

"Mas masih nanya kenapa? Jahat banget." Kesal gue.

"Karena Mas mendengarkan pembicaraan kamu sama Bunda jadi Mas tahu sebesar apa arti Mas untuk seorang Aya." Mas Juna memaksa gue bangkit dan menggenggam kedua pipi gue.

"Mas mau apa?" Tanya gue gugup.

"Tapi kamu melakukan satu kesalahan Ay, kamu bukan cuma sekedar istri yang Mas nikahi karena paksaan keluarga."

"Kamu juga segalanya untuk seorang Juna."

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang