(2)

22.5K 2K 85
                                    

"Jadi lo setuju gitu aja gitu pas disuruh nikah?" Gue menggeleng pelan untuk pertanyaan Kia, mana mungkin gue setuju mentah-mentah tanpa pikir pake otak dulu, ini masa depan gue, gak bisa sembarangan.

Nikah itu menurut gue ibarat investasi masa depan, salah pilih kolega bisa kacau, saham gue bisa terbuang sia-sia, rugi banyak gue kalau asal pilih, iya kali gak gue pikir tenang dulu, sampai bikin rapat dadakan gue sama Mas Ijaz cuma buat ngebahas masalah Mas Juna.

"Gue mikir cukup lama sebelum milih setuju dan alasan gue setuju ada dua." Jawab gue melirik Kia yang duduk tepat disebelah gue lengkap dengan tatapan penuh tanyanya.

"Dua? Apaan tu?" Tanya Kia antusias.

"Heum iya dua, pertama karena gue percaya kalau orang tua gue akan memberikan yang terbaik dan yang kedua, gue percaya takdir, jodoh gak akan kemana." Gue tersenyum sekilas sebelum kembali fokus dengan buku bacaan gue.

"Iya juga sih, kalau gak jodoh, sebagus apapun rancangan orang tua lo pada buat jodohin juga gak bakalan jadi, terus itu calon suami lo sendiri gimana? Ganteng gak? Pasti anak orang kaya jugakan? Secara kalau kenalan Ayah lo mana ada yang biasa." Lagi-lagi gue hanya bisa menyunggingkan senyuman gue, mulut Kia memang gak ada saringan.

"Lo tahu gue, kaya atau enggak bukan itu yang penting, apalagi soal ganteng atau enggaknya, setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing." Kia menurut rapat mulutnya setelah jawaban gue.

"Terus itu suami lo gimana? Okey gak? Maksud gue orangnya baik gak? Kapan acaranya?"

"Lo ngintrogasi gue? Orang tua gue aja gak sebegini amat pas nanya, mirip Mas Ijaz lo lama-lama."

"Banyak omong lo, intinya aja udah, orangnya gimana?" Tanya Kia ulang.

"Orangnya baik cuma gue gak tahu acaranya kapan? Kalau sesuai rencana harusnya akhir bulan ini."

"Akhir bulan ini?" Kaget Kia mendeprak meja, wah kacau ni anak, santai dikit bisakan?

"Lo santai sedikit bisakan? Lo mau bikin pengumuman kalau gue nikah akhir bulan ini? Wah kacau lo." Gue udah geleng-geleng kepala merhatiin kelakuan Kia.

"Ya sorry, shock gue, hebat lo, salut gue tapi apapun, gue selalu berharap yang terbaik untuk lo, Ay." Gue tahu.

.
.
.

"Ay! Ada yang nyariin lo di gerbang depan kampus." Ucap Kiki temen seangkatan gue.

"Cowo atau cewe Ki?" Tanya Kia mewakili.

"Cowo! Tapi bukan Mas Ijaz kayanya, soalnya mobilnya beda." Gue sama Kia sepakat saling tatap mengisyaratkan kata siapa?

"Yaudah makasih ya Ki." Mendapatkan anggukan Kiki, gak mau yang nyariin gue makin lama nunggu, gue bangkit dari duduk gue dan pamit sama Kia.

Berjalan melewati koridor kampus dengan pemikiran mulai menebak siapa lelaki yang dateng nyariin gue sampai kemari? Dan langkah gue seolah tercekat begitu sadar kalau ternyata yang nyariin gue itu Mas Juna, Mas Juna tahu gue dikampus dari siapa?

"Mas Juna?" Tanya gue memastikan.

"Kamu punya waktu? Sepertinya kita harus bicara." Gue menyipitkan mata dengan pertanyaan Mas Juna, bicara? Soal apalagi?

"Aya ngabarin Mas Ijaz sebentar." Masih dengan tatapan canggung, gue mengeluarkan ponsel gue dan menghubungi Mas Ijaz kalau gak usah dateng ngejemput gue hari ini.

"Iya, aman pokoknya, begitu selesai langsung pulang, janji gak kelayapan." Cicit gue keseberang.

Memutus panggilan Mas Ijaz, gue kembali melirik Mas Juna yang masih berdiri ditempat dengan tingkah yang sedikit aneh menurut gue, apanya yang aneh? Entahlah, gue sendiri gak paham.

"Heummm! Udah, mau bicara dimana? Dikantin kampus?" Tanya gue yang membuat Mas Juna kembali melirik gue sekilas.

"Kita cari tempat lain." Gue mengangguk pelan.

Masuk ke mobilnya Mas Juna dalam diam, suasana yang sangat hening seakan menambah kecanggungan diantara kita berdua, mau gue ajak ngobrol duluan, gue bingung mau ngomong apaan? Jangankan ngomong, tatapannya aja gak bisa gue jelasin.

"Turun dulu." Dua kata dari Mas Juna yang menyadarkan lamunan berkepanjangan gue.

"Jadi Mas mau ngomong apa?" Tanya gue to the point begitu kita udah duduk sambilan nunggu minum dateng.

"Maaf untuk sikap Mas beberapa hari yang lalu." Ucap Mas Juna bahkan terlihat bingung dengan ucapannya sendiri.

"Mas minta maaf kenapa? Mas gak punya salah sama Aya jadi ya gak papa." Jawab gue seadanya, lagian gue juga gak ngambil hati masalah kemarin jadi kenapa harus minta maaf.

"Boleh Mas tanya sesuatu?" Gue mengangguk pelan.

"Apa alasan kamu nerima perjodohan orang tua kita? Kamu tidak keberatan? Apa tidak ada laki-laki yang benar-benar kamu cintai?" Gue cukup kaget dengan pertanyaan Mas Juna tapi bentar, kenapa ujung-ujungnya malah nyerempet ke yang lain?

"Alasan Aya nerima perjodohannya karena Aya yakin kalau pilihan orang tua Aya gak akan salah tapi kalau untuk masalah apa ada laki-laki yang Aya cintai jujur aja enggak, Ayah sama Mas Ijaz ribet soalnya." Jawab gue tersenyum sekilas.

Bukannya mau sombong atau sok suci tapi gue memang belum pernah pacaran, suka atau tertarik sama seseorang mungkin ada, ya namanya gue perempuan normal juga tapi kalau laki-laki yang beneran gue cintai rasanya berat ngasih jawaban.

Setiap kali ada laki-laki yang mendekati gue, Ayah sama Mas Ijaz udah lebih dulu turun tangan jadi dari pada gue repot-repot jatuh cinta tapi tar gak bener dimata Ayah sama Mas Ijaz, ya mending gue hidup dengan pandangan lurus aja, kalau udah siap nikah tar juga dicariin, kaya sekarang dicariin kan?

Kalau masalah kenapa gue cuma ngasih satu alasan dari dua alasan yang gue punya sampai milih nerima perjodohannya, itu karena gue ngerasa aneh aja ngomongin masalah takdir sama jodoh dengan lelaki yang baru gue kenal, gak ada maksud lain.

"Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu? Kamu gak keberatan kalau Mas orangnya? Kamu sudah yakin dengan Mas?" Pertanyaan Mas Juna yang gue balas dengan gelengan, jujur aja gue gak yakin sama Mas Juna.

"Kalau kamu tidak yakin kenapa kamu setuju menikah?" Tanya Mas Juna bingung.

"Seperti yang Aya jawab tadi, itu karena Aya percaya dan yakin kalau orang tua Aya gak akan salah pilih." Alasannya memang sesederhana itu, walaupun gak yakin sama Mas Juna tapi gue sangat yakin dengan orang tua gue.

"Mas sendiri kenapa mendadak setuju sama perjodohannya? Bukannya Mas nolak Aya waktu itu ya?" Tanya gue balik.

Dibagian ini sedikit aneh menurut gue, gimana bisa Mas Juma merubah jawabannya dalam hitungan hari bahkan hitungan jam? Pasti ada sesuatu yang membuat Mas Juna berubah pikiran.

"Mas tidak menolak tapi masih Mas pertimbangkan, kamu jangan salah paham, Mas sama sekali tidak bermaksud seperti itu." Oh, masih dalam proses negosiasi ternyata.

"Memang yang Mas pertimbangin itu apa?" Memang berat banget pertimbangannya buat nikah sama gue?

"Mas hanya tidak yakin dengan diri Mas sendiri."

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang