(26)

13.8K 1.7K 120
                                    

"Ceraikan Aya atau Papa yang akan menceraikan Mama kamu?" Dan gue langsung menutup sepihak panggilan Papa setelah ucapannya barusan.

Apa ini yang disembunyiin Mas Juna? Apa ini yang beberapa hari terus Mas Juna pertimbangin? Kenapa Mas Juna gak ngomong kalau Papa udah ngancem sampai sebegininya?

Meletakkan handphone Mas Juna, gue mengusap wajah gak habis pikir sama jalan pikiran Papa mertua gue, cerai? Atas dasar apa gue sama Mas Juna harus pisah? Sekarang gue sama Mas Juna udah cukup bahagia terus apalagi masalahnya?

"Ay! Kamu kenapa?" Gue belum merespon apapun untuk pertanyaan Mas Juna.

Disatu sisi gue memang sangat membenci sikap Papa tapi sikap Mas Juna yang gak ngomong apapun dan milih nanggung semuanya sendiri juga membuat gue gak suka, gimana bisa Mas Juna selalu diam dengan sikap semena-mena Papanya?

"Ay! Mas_

"Apa Mas belum memberikan jawaban apapun untuk permintaan Papa?" Tanya gue berbalik menatap Mas Juna lirih.

"Ay! Maksud kamu apa? Jawaban? Kamu ketemu Papa?" Gue tersenyum miris dengan reaksi Mas Juna, apa Mas Juna masih gak mau jujur?

"Apa sesulit itu menentukan pilihan untuk mempertahankan Aya?" Tanya gue lagi.

Papa cuma minta Mas Juna milih apa sesulit itu untuk menentukan pilihan? Apa gue gak berarti sedikitpun? Setelah apa yang kita lalui berdua? Setelah semua keadaannya mulai membaik apa gue sama sekali gak berarti untuk seorang Juna?

"Barusan Papa nelfon dan minta Mas ngasih pilihan sesegera mungkin, ngeliat reaksi Mas sekarang yang masih gak mau jujur rasanya Aya udah gak punya harapan." Ucap gue yang membuat Mas Juna sangat kaget.

"Kamu salah paham Ay! Mas memang sama sekali belum ngasih jawaban apapun ke Papa, kamu gak perlu sekhawatir ini."

Karena gue tahu Mas Juna belum memberikan jawaban apapun makanya gue sangat kecewa, harusnya Mas Juna bisa ngasih jawaban tegas ke Papa, toh Mama sama Papa pisah juga gak ada ruginya? Bukannya Mama sama Mas Juna bisa lepas dari keluarga Alindra?

"Kenapa belum Mas jawab? Apa karena Mas juga berpikir gak masalah pisah sama Aya? Ya karena kita nikah juga bukan karena cintakan? Pisah rasanya gak akan jadi masalah besar untuk Mas."

Seberapa lamapun gue coba, seberapa keraspun usaha gue untuk mendekati Mas Juna nyatanya perasaan seseorang memang sulit berubah, begitupun dengan sikap Mas Juna, Mas Juna gak berubah sedikitpun, Mas Juna akan selalu nanggung rasa sakitnya sendirian.

"Ay! Mas masih mikirin jawaban terbaiknya, Mas masih berusaha untuk gak mengecewakan siapapun, bukan dengan melepaskan kamu dan bukan dengan membiarkan Papa melepaskan Mama." Mas Juna menggenggam erat kedua bahu gue khawatir.

"Dengan semua sikap Papa apa Mas pikir itu akan berhasil? Pada akhirnya Mas tetap harus milih, pernikahan kita atau pernikahan orang tua Mas." Gue mundur beberapa langkah dan narik handuk sembarangan masuk ke kamar mandi.

Lagian gue heran sama Papa, dia itu cinta apa enggak sama Mama coba? Segampang itu ngomong cerai ke Mama, apa Papa pikir omongannya itu gak akan ngefek apapun, ucapan kaya gitu sama aja kaya beneran ngomong cerai ke Mama.

Lagi-lagi karena ulah Papa gue berhasil ribut sama Mas Juna, gak Bapaknya, gak anaknya pun sama, bisanya dateng sepaket sama bawa masalah, gak akan ceritanya Papa dateng dengan damai, kesan gue sama Papa buruk semua.

Sebenernya tujuan Papa sama Kak Rian ngotot minta gue sama Mas Juna pisah itu apa? Setelah gue sama Mas Juna pisah mereka mau apa? Menikahkan Mas Juna dengan perempuan lain atau balik ingin menjodohkan gue sama Kak Rian sesuai rencana awal?

Cukup lama gue nangkring di kamar mandi, beberes dan setelah yakin kalau emosi gue udah cukup reda buat berhadapan sama Mas Juna, dengan merapalkan do'a, gue meraih gagang pintu dan keluar.

Gue tahu emosi gue ini emosian makanya setiap kali ribut gue milih pergi, bukan karena gue mau menghindari masalah tapi kalau diterusin disata emosi gue masih kaya gitu bukannya nemu penyelesaian tapi yang ada malah makin parah.

"Kamu jauh lebih baik?" Tanya Mas Juna yang ternyata masih nunggu gue di kamar, gue pikir udah kemana-mana.

"Heummm." Gumam gue dan ikut duduk disamping Mas Juna.

"Seandainya Mama gak mempunyai perasaan apapun ke Papa, mungkin gak akan seberat ini untuk Mas menentukan pilihan, pernikahan kita atau pernikahan orang tua Mas, keduanya sama berharganya." Mas Juna ngambil alih handuk di tangan gue dan membantu gue mengeringkan rambut gue yang memang masih basah.

"Kalau membiarkan Mama berpisah dengan Papa itu mudah, Mas gak harus semenderita ini, semuanya semakin berat karena Mas Juna gak bisa dengan mudah melepaskan kamu." Melihat senyum Mas Juna dengan mata Mas Juna yang berkaca-kaca cukup membuat kacau perasaan gue.

"Mas mau kita gimana? Gak akan mudah ngubah pemikiran Papa, Mas tahukan?" Gue bukan berpikiran negatif tapi gue mau berpikir dengan melihat kenyataan, semuanya gak akan mudah.

Mendapati Mas Juna diam tanpa jawaban, gue juga gak tahu harus bereaksi kaya apa, kalau Mas Juna aja gak punya jawabannya, gue mau bilang apa lagi? Tapi pasrah juga gak mungkin.

"Mbak Aya!" Mendengar suara Bi Nami yang manggilin gue dari luar, gue bangkit untuk membukakan pintu.

"Kenapa Bi?" Tanya gue ke Bi Nami.

"Dibawah ada Papa sama Adiknya Mas Juna." Gue langsung melirik Mas Juna dengan tatapan khawatir begitu mendengar jawaban Bi Nami, Papa sana Kak Rian kemari? Ngapain?

"Aya sama Mas Juna turun sekarang." Bisa kacau ini, kenapa Papa harus ke rumah keluarga gue? Disini ada orang tua gue, terlebih ada Mas Ijaz, bisa abis kalau Mas Ijaz denger omongan seenak jidatnya mereka.

"Mas! Ini gimana? Ayah sama Mas Ijaz gak akan tinggal diem Mas tahukan?" Gue mengingatkan.

"Kita turun dulu." Dengan berat hati, gue mengikuti langkah Mas Juna turun kebawah, jangan tanya tatapan orang tua gue terutama Bunda, tatapannya beneran khawatir.

"Kenapa Papa sama Ian kemari gak ngabarin Juna dulu?" Tanya Mas Juna begitu mendudukkan tubuhnya di sofa, gue ngambil posisi di sebelah Bunda.

"Karena kamu nutup sepihak telfon Papa tadi, Papa datang ingin memastikan jawaban kamu." Gue cukup tercengang dengan ucapan Papa.

"Aya yang angkat panggilan Papa tadi dan Aya juga yang nutup sepihak panggilannya, ini bukan salah Mas Juna." Jawab gue sebelum Mas Juna, jangan tanya ekspresi kaget Papa sama Kak Rian.

"Siapapun itu bukan masalah yang ingin Papa tahu jawaban Juna, kamu atau Mamanya?" Gue tersenyum miris, apa harua Papa nanya masalah kaya gini didepan keluarga gue?

Gue nepuk pelan tangan Bunda menenangkan sedangkan Ayah udah berusaha sebaik mungkin menenangkan Mas Ijaz, hanya Mas Juna yang tertunduk pasrah tanpa jawaban, gue tahu ini semua gak akan mudah tapi posisi Mas Juna beneran gak menguntungkan menurut gue.

"Baik! Kalau Papa sangat ingin Aya sama Mas Juna berpisah, Aya setuju." Ucap gue yang membuat semua orang menatap gue kaget, terutama Mas Juna yang menatap gue gak percaya.

Berbeda dari Mas Juna dan keluarga gue, Papa dan Kak Rian terlihat sangat lega, gue cuma berharap kalau pilihan gue sekarang gak akan pernah salah, Mas Juna mungkin gak bisa milih tapi gue bisa menentukan pilihan gue.

"Tapi setelah Aya sama Mas Juna pisah, jangan berharap Aya akan menikah lagi, gak akan, sampai kapanpun."

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang