(30)

14.4K 1.6K 180
                                    

"Kalian mau berangkat sekarang?" Mas Juna mengangguk pelan.

Entah gue harus kecewa, bahagia atau merasa lega dengan keadaan gue sama Mas Juna sekarang, setelah kejadian Papa dan Kak Rian datang ke rumah beberapa hari yang lalu, hari ini adalah puncak terbesar dari efek samping jawaban Mas Juna kemarin.

Karena memilih mempertahankan gue, bukan cuma Mama yang berpisah dan keluar dari rumah keluarga Alindra, Mas Juna juga dipecah dan kita berdua harus keluar dari rumah yang beberapa bulan terakhir sudah kita tempati.

Awalnya gue keberatan dengan keputusan Mas Juna yang ikut menyerahkan rumah yang kita tempat secara suka rela karena bagaimanapun, rumah itu hasil kerja keras Mas Juna, rumah itu memang di beli dengan gaji Mas Juna yang ditabung.

"Mas gak akan membawa apapun yang berkaitan dengan keluarga Alindra." Dan ini alasan terbesar Mas Juna.

Walaupun terlihat semua masalah mempunyai penyelesaiannya tapi senyum bahagia gue beneran belum bisa gue perlihatkan, mengingat kondisi Mama juga membuat gue merasa bersalah.

Kondisi Mas Juna sendiri juga gak luput dari pemikiran gue, walaupun Mas Juna memperlihatkan senyumannya tapi senyuman itu seakan kembali seperti pertama kali kita ketemu, senyum yang dipaksakan.

"Mas jangan maksaian." Cicit gue mengusap lengan Mas Juna.

"Kamu juga jangan terlalu khawatir, Mas baik, jadi jangan pasang muka suram begitu." Balas Mas Juna nyubit pipi gue.

Gue belum lupa dengan ucapan Mas Juna yang gak mau ngadu apapun ke keluarga gue dan saat keadaan mengharuskan Mas Juna membuang harga dirinya di depan keluarga gue, ini semua jelas gak akan mudah.

Rumah yang ditempati Mama sekarang adalah bantuan Mas Ijaz sedangkan gue sama Mas Juna balik tinggal di rumah keluarga gue karena memang rumah keluarga Zdakiandra itu atas nama gue, gue pemiliknya.

"Gak ada yang perlu kalian khawatirin, Ayah sama Mas Ijaz udah nyiapin semuamya, Mas Ijaz udah minta seseorang untuk ngebantuin Mamanya Juna dirumah dan mulai besok Juna jiga udah bisa masuk ke kantor." Jelas Bunda yang membuat gue memaksakan senyuman gue.

Walaupun ini terdengar kabar baik tapi gue tahu pasti kalau Mas Juna gak terlalu bahagia, gue gak tahu apa yang Mas Juna pikirin sekarang tapi yang pasti, Mas Juna pasti akan nyari jalan lain, gak dengan nerima bantuan keluarga gue cuma-cuma begini.

"Nda, masalah kantor, Aya bicarain dulu sama Mas Juna gak papakan?" Tanya gue dengan sopan.

Gue tahu niat keluarga gue baik dan sama sekali gak ada niatan menjatuhkan harga diri Mas Juna tapi mengingat kepribadian Mas Juna, nerima bantuan orang tua gue juga gak mudah, gue harus bicara sama Mas Juna dulu.

"Yasudah gak papa, Bunda ngerti." Bunda tersenyum cukup tulus.

"Tengkyu Nda." Jujur gue ngerasa sedikit terganggu karena terus nolak niat baik Ayah sama Bunda tapi gimana caranya gue ngasih tahu Mas Juna?

"Tapi apapun, kalau kalian punya kesulitan, jangan ragu buat cerita sama keluarga." Lagi-lagi gue mengangguk pelan.

"Kalau gitu Aya sama Mas Juna berangkat sekarang Nda, Mama mau nitip sesuatu?"

"Gak papa, kalian jangan pulang larut malam." Mendapat gelengan Mama, gue sama Mas Juna pamit keluar sebentar.

.
.
.

"Mas mau kita gimana sekarang?" Tanya gue memastikan, setelah pemberitahuan Ayah semalam, Mas Juna belum ngomong banyak.

Tujuan gue ngajak Mas Juna keluar hari ini adalah untuk memastikan perasaannya, gue gak mau Mas Juna terus kepikiran, bukan cuka kesehatan Mama, kesehatan Mas Juna juga sangat penting.

"Mas tahu Ayah sama Bunda berniat tulus membantu tapi Mas gak bisa nerima semuanya gitu aja Ay." Ucap Mas Juna yang langsung gue angguki.

"Aya ngerti makanya Aya tanya rencana Mas apa?" Karena gue tahu Mas Juna keberatan makanya gue mau memastikan dulu rencananya.

"Untuk rumah yang di tinggali Mama sekarang, Mas akan mengembalikan semua biaya yang dikeluarkan Ijaz kalau memang Mas sudah mempunya pekerjaan nanti dan Ijaz udah setuju." Okey, gue juga udah tahu, Mas Ijaz udah cerita.

"Terus lainnya?"

"Mengenai pekerjaan, Mas akan cari sesegera mungkin, kamu jangan khawatir." Gue mengusap wajah gue dengan jawaban Mas Juna yang ini.

"Mas, bukan maksud Aya mau maksain, tapi apa gak bisa Mas terima tawaran Ayah untuk kerja di kantor?" Bujuk gue.

Bukan gue mau maksain pilihan Mas Juna tapi gue juga ingin memikirkan perasaan keluarga gue, mengenai rumah Mama, Mas Ijaz sudah mengiyakan permintaan Mas Juna yang ingin mengembalikan semua biayanya walaupun sebenarnya gak perlu.

Tapi untuk pekerjaan apa gak bisa Mas Juna mempertimbangkan, menolak semua bantuan Orang tua gue juga gak haruskan? Menerima sedikit bantuan keluarga juga gak ada salahnya, lagian mereka juga tulus.

Setahu gue, Ayah menerima Mas Juna kerja dikantor bukan cuma-cuma juga, kemampuan Mas Juna memang baik, dari pada membantu perusahaan orang lain bukannya lebih naok membantu keluarga sendiri? Gak ada yang mau memamfaatkan kemampuan Mas Juna.

"Mas, menolak semua bantuan Ayah sama Bunda juga akan membuat orang tua Aya sedih, mereka melakukan itu juga karena sayang sama kita, bukan karena kasihan." Gue mecoba menjelaskan sebaik mungkin.

Gue gak mau Mas Juna tersinggung dan gue juga gak mau membuat orang tua gue berkecil hati, ada beberapa hal yang harus Mas Juna pertimbangkan, memulai semuanya dari awal bukan berarti harus menolak niat baik keluarga guekan? Toh di perusahaan gue memang punya bagian gue sendiri, milik gue, milik Mas Juna juga.

"Akan Mas coba." Mas Juna mengusap kepala gue sekilas lengkap dengan senyumannya.

"Itu artinya Mas setujukan?" Tanya gue memastikan, gue udah pasang muka penuh harap sekarang.

"Kalau itu bisa membuat kamu merasa jauh lebih tenang, Mas juga gak mau membuat Ayah sama Bunda berkecil hati karena putrinya menolak bantuan mereka." Dan gue bisa tersenyum lebih lega sekarang.

"Tengkyu Mas, tengkyu tengkyu pokoknya." Gue udah gak ngerti harus mengeskpresikan kebahagiaan gue gimana lagi, intinya gue lega banget.

"Sekarang kamu cuma perlu fokus sama skripsi kamu, karena setelah semua keadaannya membaik, kita akan punya masalah baru yang jauh lebih medesak." Hah? Apaan?

Mas Juna kenapa ngomong begitu? Masalah baru apaan lagi sekarang? Apa harus masalah selalu muncul disaat gue udah mulai bahagia? Gue cuma mau hidup tenang apa susahnya?

"Mas jangan nakut-nakutin? Memang masalah apalagi?" Gue mulai parno sendiri kalau Mas Juna udah ngungkit kata masalah baru.

"Orang tua kamu sama Mama udah minta cucu, itu masalah barunya."

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang