(35)

6K 718 25
                                    

"Dek, kamu berantem sama Juna?" Pertanyaan Mas Ijaz yang gue abaikan.

Gue gak habis pikir dengan otak Mas Juna, apa gue terlihat seperti perempuan yang akan berbohong dengan suami gue hanya untuk laki-laki yang jelas-jelas gak bisa gue percaya? Itu gila.

Apa Mas Juna bodoh? Apa otak Mas Juna sebobrok itu? Gimana bisa dia mikir kalau gue janjian sama Kak Rian tanpa sepengatahuannya? Mas Juna bahkan marah sebelum mendengarkan penjelasan gue lebih dulu?

"Dek! Mas tanya kamu." Ulang Mas Ijaz yang masih gue abaikan, gue hanya menatap Mas Ijaz lelah gak berniat ngebahas apapun untuk sekarang.

"Aya cuma butuh istirahat Mas." Gumam gue mulai tidur membelakangi Mas Ijaz.

Apa yang harus gue jelasin lagi? Mas Juna udah nentuin pilihannya, dia lebih percaya Adik angkatnya ketimbang gue, rasanya gue terlalu lelah untuk menceritakan sikap Mas Juna barusan ke Mas Ijaz, semuanya udah gak guna.

Mas Ijaz gak perlu tahu seberapa besar kekecewaan gue sekarang, bahkan setelah gue suruh keluar, Mas Juna pergi tanpa bantahan apapun lagi, apa Mas Juna beneran mikir buruk untuk gue?

Apa gue harus marah? Gue bukan marah tapi lebih tepatnya gue sangat kecewa, begitu Kak Rian nunjukin foto Mas Juna sama Rani, gue bahkan gak butuh penjelasan apapun untuk membuat gue percaya dengan suami gue tapi lantas yang gue dapat apa? Omong kosong semua.

Mas Juna percaya mentah-mentah bahkan sampai menatap gue dengan tatapan gak sukanya, gue mungkin bisa terima semua sikap bahkan perlakuan Mas Juna yang mengabaikan gue tapi bukan kaya gini juga.

Kalau kepercayaan Mas Juna nyatanya aja gak pernah ada untuk gue? Terus ngapain gue capek-capek buang tenaga buat bertahan sampai sekarang? Semuanya sia-sia karena sikap gak pedulinya Mas Juna hari ini.

"Mas tunggu diluar, kalau kamu butuh sesuatu tinggal panggil, Ayah sama Bunda juga udah dijalan." Gue bergumam pelan dengan ucapan Mas Ijaz.

Semakin gue pikirin masalah gue sekarang malah semakin gue ngerasa kecewa dengan sikap Mas Juna hari ini, gue ngerasa kalau selama ini gue seakan gak berarti apapun, Mas Juna belum mempercayai gue sebesar gue percaya sama dia.

"Ay! Lo baik?" Tanya Kia yang ternyata sampai lebih dulu dari Ayah sama Bunda.

"Tubuh gue mulai membaik tapi perasaan gue kayanya makin memburuk." Lirih gue yang membuat Kia narik nafas dalam.

"Sebenernya lo kenapa? Gue ketemu sama Mas Juna tadi didepan tapi raut wajahnya beneran kacau, masuk dan nemuin lo yang ternyata lebih kacau itu beneran buruk Ay."

"Lo yakin yang lo liat muka kacau Mas Juna? Topeng monyet kali." Dan Kia langsung nepuk bibir gue setelah ucapan gue barusan.

"Lo ngatain suami lo monyet? Lo istri monyet dong." Ish.

Lagian gue benerkan? Kenapa Mas Juna harus pasang muka kacau begitu? Bukannya dia yang milih percaya dengan Adiknya? Mas Juna bahkan gak ngasih gue kesempatan buat ngasih penjelasan sebelum dia main marah seenak jidatnya.

Kalau ada yang merasa dirugikan, di bohongi atau bahkan merasa tersakiti, gue orangnya, gue yang dengan sama begonya naruh harapan terlalu tinggi sama Mas Juna, otak gue juga bobrok ternyata.

"Sekarang gue tanya, lo kenapa? Berantem?" Pada akhirnya gue mengangguk pelan dan mulai menjelaskan semuanya sama Kia.

"Ay! Lo juga harus inget, kalau kalian berdua sama-sama emosi dan gak mau ngalah, kedepannya bakalan lebih buruk lagi." Gue mengangguk setuju dengan ucapan Kia barusan.

"Tapi Ki, apa harus selalu gue yang bersabar? Apa harus selalu gue yang ngalah? Gue juga mau dingertiin bukan cuma terus berusaha buat ngertiin orang lain, gue capek Ki." Ini masalahnya.

Gue pikir setelah semua apa yang gue lakuin untuk Mas Juna, gue bisa mendapatkan posisi yang lebih baik dihati suami gue, gue gak berharap banyak tapi kalau kepercayaan aja gue gak bisa dapetin dari Mas Juna, terus yang mau gue pertahanin itu apa?

"Berjuang seorang diri itu lelah Ki, gue udah gak bisa." Selama ini gue terus berusaha buat ngasih kebahagian Mas Juna, gue berusaha sebaik mungkin tapi sampai sekarang, apa pernah Mas Juna ambil berat masalah perasaan gue?

Dalam pernikahan yang gue butuhin bukan cuma sekedar perlindungan dan pengakuan Mas Juna, status bukan selalu menjadi yang terpenting, walaupun gak banyak, gue juga mau Mas Juna sedikit lebih memperhatikan gue.

Sama halnya gue yang berusaha keras nyari cara untuk membuat Mas Juna tersenyum bahagia, apa terlalu berlebihan kalau gue menginginkan hal yang sama juga?

"Apa Mas Juna pernah nyari tahu apa makanan kesukaan gue? Apa warna kesukaan gue? Apa bunga yang gue suka? Apa ada sesuatu yang gue mau? Enggak pernah Ki."

Nyatanya selalu gue yang berusaha keras, sikap baik Mas Juna dalam memperlakukan gue terasa gak cukup kalau gak ada kepercayaan sama sekali diantara kita berdua, apa dan bagaimanapun keadaan kalau terus kaya gini, kita berdua akan kesulitan.

"Kenapa gak lo coba jelasin sama Mas Juna, Ay, harusnya lo jelasin dulu sebelum lo nyuruh Mas Juna pergi." Tanya Kia yang terdengar seakan menyalahkan gue.

"Untuk apa gue jelasin lagi kalau Mas Juna udah lebih dulu percaya dengan apa yang di omongin Kak Rian?" Setelah milih rasanya gak ada yang harus di perpanjang.

"Tapi kalau lo jelasin, Mas Juna pasti bakalan mikir lagi sebelum marah sama lo, Mas Juna gak akan makin salah paham." Salah paham? Jelasin? Mau sampai kapan metode perbaikan begini digunain?

"Apa kalau seandainya gue jelasin Mas Juna akan sadar? Apa Mas Juna akan merasa bersalah dan berakhir dengan minta maaf lagi ke gue? Terusin aja begitu, bikin salah baru minta maaf." Gampang banget.

Kalau begini ceritanya, gue rasa Mas Juna atau gue gak perlu membahas apapun lagi, kunci utama untuk membangun rumah tangga aja udah gak ada, kepercayaan, tanpa rasa percaya semuanya bakalan sulit.

"Terus lo sama Mas Juna mau sampai kapan kaya gini? Bukannya cepat atau lambat kalian harus bicara? Lo tetap harus jelasin dan Mas Juna harus denger penjelasan lo." Memang bener, gak ada yang salah dengan ucapan Kia.

"Gue tahu tapi lo sendiri tahu gak apa yang gue rasain sekarang Ki? Disaat lo mutusin untuk percaya penuh dengan seseorang tapi orang tersebut enggak melakukan hal yang sama, kecewa itu hal pasti yang harus gue tanggung."

Mungkin permasalahan gue sama Mas Juna sekarang terdengar sepele, gue mungkin akan dianggap keras kepala, egois dan mau membesar-besarkan masalah yang keliatan kecil.

Tapi sesuatu yang orang lain anggap sepele bisa sangat berefek untuk orang lain, jangan memandang masalah hanya dari sudut pandang lo sendiri, itu gak adil.

"Tapi bukannya Mas Juna berhak dapet kesem_

"Kesempatan? Berapa banyak kesempatan yang udah gue berikan cuma-cuma disaat Mas Juna kembali melakukan kesalahannya?"

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang