(8)

16.6K 1.8K 112
                                    

"Mas gak akan nunda momongan." Hah? Mas Juna kesambet malam-malam apa salah makan?

"Mas sakit parah?" Tanya gue asal yang dihadiahi tatapan menusuknya Mas Juna.

Lagian ni  Mas Juna juga aneh, kita kenal baru hitungan munggu, mentok sebulan lah dan nikah baru hitungan jam, gimana bisa Mas Juna ngomong masalah momongan segamblang itu? Gak risi atau apa gitu sama gue?

"Kamu berharap Mas sakit parah? Ucapan itu doa? Terlebih doa istri." Dan gue langsung kicep gak berkutik.

"Ya Mas juga aneh, kenapa tetiba bahas momongan? Nyesuain diri kita berdua aja belum lah Mas malah ngebahas itu, siapa yang gak kaget coba?" Jawab gue mencoba untuk lebih serius.

"Bukannya setiap pernikahan akan semakin kuat dengan kehadiran anak?" Gue mengangguk setuju.

"Tapi situasi kita berdua beda Mas, diluar sana orang jatuh cinta dulu baru nikah jadi wajar kalau gak nunda momongan, lah kita apa kabar?" Tanya gue lagi.

Jawaban gue sekarang bukan hanya menjurus ke sebuah penolakan halus tapi gue mau Mas Juna juga mikir lebih realistis, hubungan kita berdua aja masih akan memakan banyak usaha buat bisa saling ngerti jadi aneh rasanya kalau mengiyakan ucapan Mas Juna barusan.

"Yaudah kita balik, kita menikah dan cinta akan Mas pe_

"Pelajari? Mas, cinta bukan matakuliah yang bisa Mas pelajari dari buku, semua gak segampang itu, coba pikirin lagi baik-baik." Potong gue karena Mas Juna sendiri terlihat ragu dengan ucapannya.

"Kamu menolak?" Bukan itu intinya.

"Mas, Aya gak nolak, itu memang hak Mas tapi yang Aya mau sekarang, Mas pikirin masalah ini matang-matang dulu, gak baik kita ngambil keputusan terburu-burukan?" Jelas gue.

Karena kalau nanti kita punya anak dan keadaan kita berdua juga gak semakin membaik atau bahkan memburuk, bukan kita berdua yang rugi tapi anak-anak kita berdua nanti, ini yang gue pertimbangin.

"Kalau alasan Mas gak mau nunda momongan cuma untuk memperkuat pernikahan kita, Aya rasa itu gak perlu, karena bagi Aya, kalau Aya udah yakin dengan perasaan Aya sendiri, ada anak atau enggak diantara kita berdua, Aya gak akan pernah melepaskan Mas." Gue mau Mas Juna percaya ini.

"Apapun masalahnya nanti?" Tanya Mas Juna dengan tatapan berubah khawatir.

"Apapun." Sebenarnya apa yang jadi beban Mas Juna? Gue sama sekali gak ngerti.

.
.
.

"Apa kamu keberatan kalau ikut Mas pindah?" Tanya Mas Juna yang masih fokus dengan kemudinya.

"Pindah? Kemana? Rumah keluarga Mas?" Tebak gue, apa Mas Juna ngajak gue pindah ke rumah keluarga Alindra?

"Mas udah lama gak tinggal di rumah keluarga Alindra, Mas punya rumah sendiri." Hah? Gue baru tahu kalau Mas Juna gak tinggal disana.

"Memang gak papa kalau Aya ikut pindah bareng Mas?" Tanya gue gak yakin, gue gak salah dengerkan? Mas Juna ngajak gue pindah itu artinya kita bakalan tinggal berdua doang gitu?

"Kamu yang gak yakin apa Mas? Lagian memangnya kenapa kalau kamu pindah ikut Mas? Bukannya wajar seorang istri ikut tinggal dengan suaminya?" Entah kenapa gue selalu aja narik nafas dalam begitu Mas Juna mulai ngungkit masalah suami istri, kaya ada yang aneh aja gitu.

"Okey! Tar Aya bicarain sama Ayah, Bunda, Mas Ijaz juga."

"Mas sudah bicara dengan Ayah masalah ini bahkan sebelum pernikahan kita." Gue kaget dong, apa Mas Juna ketemu Ayah tanpa sepengetahuan gue?

"Mas ketemu Ayah sebelum pernikahan kita?" Tanya gue yang diangguki Mas Juna.

"Kalau Ijaz aja dateng nemuin Mas cuma untuk memastikan kebahagian kamu, Ayah adalah orang yang harus Mas temui sebelum menikahi kamu, seorang Ayah tidak akan melepaskan putrinya untuk laki-laki yang tidak dia kenal." Hah? Bahkan Mas Ijaz nemuin Mas Juna?

"Maaf ya Mas, Ayah sama Mas Ijaz memang gitu, ini ni alasannya Aya gak pernah pecaran, belum apa-apa Ayah sama Mas Ijaz udah jadi tim seleksi lebih dulu." Ucap gue tersenyum kecil.

"Bukan masalah, dari mereka setidaknya Mas pernah melihat apa arti keluarga yang sesungguhnya, mereka benar-benar menyayangi kamu." Ucap Mas Juna tersenyum tipis, sangat tipis.

Mas Juna tersenyum tapi kenapa hati gue terasa aneh melihat tatapannya? Tatapan Mas Juna selalu aja ngusik hati gue, tatapannya selalu terlihat terluka, tatapannya selalu nunjukin sebuah kesedihan.

"Mas keluarga Aya juga sekarang jadi sama Aya juga harus sayang." Entahlah, apa ucapan gue ini akan membantu menenangkan kekhawatiran Mas Juna.

Ucapan gue barusan bukan sekedar becandaan gue yang menginginkan kasih sayang Mas Juna juga tapi gue mau Mas Juna tahu kalau sekarang dia gak sendirian, Mas Juna juga punya gue sebagai keluarganya, gue mau tatapannya berubah.

"Heummm, apa kasih sayang keluarga kamu belum cukup? Hidup berlebihan dengan kasih sayang itu seperti apa?" Gue tersenyum kecil dengan pertanyaan Mas Juna.

"Seperti apa? Kasih sayang keluarga itu adalah sebuah kebahagian untuk Aya, jadi karena Mas keluarga Aya sekarang, akan Aya bagi kebahagian Aya untuk Mas, gak perlu khawatir." Tatapan Mas Juna yang awalnya melirik gue langsung kembali fokus ke arah jalan setelah ucapan gue barusan, Mas Juna kenapa?

Gue gak tahu apa yang gue lakuin sekarang ini bener atau enggak tapi gue cuma gak bisa ngeliat tatapan terluka Mas Juna setiap kali natap gue, senyumnya yang terasa lembut tapi entah kenapa terlihat sangat menyakitkan disaat yang bersamaan.

Dari pertama kali gue melihat Mas Juna, tatapan terlukanya yang sampai sekarang gak bisa gue lupain, apa arti Mas Juna untuk gue sekarang? Gue gak tahu, yang gue tahu, gue hanya ingin melihat senyuman bahagia dari wajahnya.

Keinginan gue sekarang adalah melihat senyum bahagia tercetak jelas diwajah seorang Juna, bukan senyum yang dipaksakan, bukan senyuman yang diperlihatnya hanya untuk menutupi kesedihannya.

Gue ingin senyum tulus yang memang Mas Juna berikan karena Mas Juna merasa bahagia, senyum yang akan membuat orang lain ikut bahagia bersama, senyuman yang hari ini, detik ini, sekarang sedang gue bayangkan akan terlihat seperti apa diwajah tampan seorang Juna.

"Jadi kamu setuju pindah?" Tanya Mas Juna melirik gue sekali, gue mengangguk pelan dengan tatapan belum lepas untuk Mas Juna.

"Kenapa kamu natap Mas kaya gitu?" Tanya Mas Juna terlihat gugup, gue tersenyum dan masih setia menatap dengan cara yang sama.

"Aya lagi ngebayangin sesuatu." Jawab gue seadaannya.

"Apa? Jangan aneh-aneh Ay, Mas lagi nye_

"Senyum bahagia Mas." Potong gue tersenyum tipis.

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang