(13)

15.4K 1.7K 155
                                    

"Kenapa Ay?" Tanya Mas Juna yang membuat gue menggeleng pelan dan kembali tersenyum aneh sendiri.

"Kalau gak ada apa-apa gak mungkin raut wajah kamu begitu?" Tanya Mas Juna lagi.

"Gak papa Mas, Aya ngerasa aneh aja, kenapa Mas bilang kalau Aya istri Mas tadi? Padahal kan bisa aja Mas ngakuin Aya ini Adiknya Mas kaya kemarin."

"Karena kata kamu status yang Mas berikan bukan sekedar kata hanya." Dan gue mengangguk pelan, apa ucapan gue kemarin berpengaruh?

"Mas akan berusaha sebaik mungkin untuk gak ngecewain kamu." Ucap Mas Juna tersenyum cukup tipis.

Walaupun senyumnya hampir gak keliatan tapi tatapannya cukup menangkan untuk gue, begini jauh lebih baik, Mas Juna gak perlu memaksakan senyumannya didepan gue, sedikit asalkan Mas Juna melakukannya tanpa beban itu cukup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Walaupun senyumnya hampir gak keliatan tapi tatapannya cukup menangkan untuk gue, begini jauh lebih baik, Mas Juna gak perlu memaksakan senyumannya didepan gue, sedikit asalkan Mas Juna melakukannya tanpa beban itu cukup.

"Mas juga gak perlu maksain, Aya juga belajar." Gue tersenyum dan membiarkan Mas Juna fokus dengan kemudinya.

.
.
.

"Mas, Mas janjian sama seseorang?" Tanya gue begitu mendapati ada mobil yang terparkir didepan rumah.

Mas Juna melirik gue sekilas dan seketika raut wajahnya kembali berubah begitu mengikuti arah pandang gue, memang itu siapa? Kenapa Mas Juna keliatan pasrah begitu?

"Mas! Itu bukan man_

"Itu mobil Papa." Dan gue ikut kaget begitu mendengar ucapan Mas Juna, Papa? Kenapa Papa malah kemari gak ngabarin dulu? Gak ngabarin gue harusnya ngabarin Mas Junakan? Kalau gak, Mas Juna gak akan sekaget itu juga.

"Papa ngapain Mas?" Tanya gue gak yakin dengan situasinya, mendadak suasana terasa aneh karena gue tahu pasti bahagimana hubungan Mas Juna dengan Papa tirinya.

"Mas juga gak tahu, kita turun dulu." Dengan langkah kurang yakin, gue turun dari mobil dan mengikuti langkah Mas Juna yang menemui Papa lebih dulu, gue hanya berdiri dibelakang Mas Juna seolah ketakuatan akan sesuatu.

"Pa! Kenapa kemari gak ngabarin Juna dulu?" Tanya Mas Juna membukan pintu, Papa masuk bahkan tanpa menjawab pertanyaan Mas Juna.

"Papa udah lama?" Tanya gue memberanikan diri.

'Siapkan mental Ay! Mau gak mau, suka gak suka, terima gak terima itu dia mertua lo, gak mungkin lo mau menghindar seumur hidup cuma karena ketakutan lebih dulukan?' Rutuk gue untuk menyemangati diri gue sendiri.

"Papa mau minum apa?" Tanya gue lagi karena pertanyaan pertama gue yang anehnya juga diabaikan, suasananya kenapa makin gak karuan begini?

"Mas! Papa kenapa?" Cicit gue nyikut lengan Mas Juna, Mas Juna mengusap lengan gue dan lagi-lagi memaksakan senyumannya.

Ish, baru juga gue bahagia karena Mas Juma tersenyum cukup tulus tapi kenapa Papa malah dateng dengan raut wajah gak jelas begini? Kalau memang ada masalah dibicarain baik-baikkan bisa?

"Pa! Papa duduk dulu, Jun_

Plak! Dan satu tamparan mendarat tepat diwajah suami gue.

"Apa kamu tidak hadir dirapat hari ini karena bersenang-senang dengan perempuan ini?" Ucap Papa dingin.

Gue yang aslian kaget udah melayangkan tatapan gak suka gue untuk sikap Papa? Kenapa Papa tiba-tiba dateng langsung marah bahkan sampai nampar Mas Juna begini? Apa sikapnya gak keterlaluan?

Katakanlah Mas Juna bersalah apa harus Papa mukul Mas Juna bahkan didepan gue? Harga diri suami gue dilempar kemana? Apa cuma karena gak masuk kantor sampai bisa membuat Mas Juna layak mendapatkan perlakuan begini? Gue gak terima.

"Pa! Papa itu ke_

"Ay! Kamu naik dulu." Potong Mas Juna narik lengan gue untuk berdiri dibelakangnya.

"Mas! Papa gak seharus_

"Masuk Ay! Mas minta tolong." Ulang Mas Juna yang entah kenapa terdengar memohon.

Melihat tatapan memohon Mas Juna, gue udah nahan emosi gue yang hampir sampai ke ubun-ubun dan narik diri mundur, gue narik paksa tangan gue yang digenggam Mas Juna dan langsung naik ke atas masuk ke kamar.

Sampai di kamar, gue nutup pintu kasar dan menghempaskan tubuh gue diranjang, gila ya! Gimana bisa Papa bersikap kaya gitu? Apa ini yang dialami Mas Juna selama ini? Pantes tatapan terlukanya gak pernah lepas dari raut wajahnya.

Gue pikir Ayah atau Ibu tiri jahat itu cuma ada disinetron atau drama, lah ini gue nonton live dan lebih parahnya suami gue yang jadi peran utama yang terzoliminya, wah, gue gak bisa terima.

Aneh aja menurut gue, ya gak mungkin cuma karena masalah libur sehari Mas Juna kudu diserang sampai kerumah begini? Apa sehari Mas Juna gak le kantor itu kantor bakalan bubar? Gak kan.

Gue yang masih membaringkan tubuh gue asal beralih duduk di sisi ranjang karena pemikiran yang gak bisa tenang, yah gue sama sekali gak habis pikir dengan sikap Papa, gue gak ngerti lagi jalan pikirannya itu gimana?

Sejauh yang gue tahu bukannya Mas Juna bekerja dengan cukup baik di kantor Papanya? Mas Juna masih melakukan yang terbaik bahkan disaat dia tahu kalau dia gak akan mewarisi apapun? Wah kacau.

Terus itu anak kandungnya kemana? Apa dia gak tahu kalau Mas Juna diperlakukan semena-mena sama Papanya? Kalau dari awal gak mau nerima Mas Juna sebagai keluarga, mending gak usah, gue yakin Mas Juna juga gak keberatan gak dianggap putra keluarga Alindra.

Wah gue gak bisa cuma diem uring-uringan di kamar kaya gini? Gimana bisa gue ngebiairin Mas Juna di amuk sama Papa gitu aja, udah gitu Mas Juma sabar banget lagi, kalau gue yang ditindas begitu, gue lapor polisi.

Gak sabar nunggu sendiri di kamar, gue milih bangkit dari duduk gue dan berniat keluar kamar nemuin Mas Juna sama Papa, gue mau ngejelasin semuanya sama Papa, kita berdua gak bermaksud ngerugiin Papa atau apapun.

Terus apa katanya tadi? Perempuan? Apa perempuan yang di maksud Papa itu gue? Apa menyebut istri dari putranya seperti adalah cara Papa menyambut kedatangan gue dikeluarganya?

Dengan kekesalan semakin menjadi, gue meraih gagang pintu dan berakhir nabrak tubuh Mas Juna begitu membuka pintu dan ternyata Mas Juna mau masuk juga.

"Aya harus ngomong sama Papa, giamna bisa Papa nampar_

"Papa udah pulang." Hah? Papa pulang? Setelah nampar dan marah-marah gak jelas?

Gue beralih dari ambang pintu dan mendudukkan tubuh gue di sofa, gue juga gak lupa menggandeng lengan Mas Juna untuk ikut duduk disamping gue.

"Apa Mas selalu diam dengan semua sikap Papa?" Tanya gue mengusap pipi Mas Juna yang ditampar Papa barusan.

"Itu adalah cara Mas bertahan." Jawab Mas Juna terlihat pasrah dengan keadaan.

Apa sesulit itu Mas Juna melawan Papa? Mas Juna juga bukan anak kecil lagi yang bisa diatur semaunyakan? Kalau Mas Juna mau, Mas Juga bisa aja membantah dan hidup seperti yang dia mau.

"Aya gak ngerti Mas, Mas bisa aja melawan atau setidaknya membela dirikan? Sikap Papa tadi keterlaluan Mas." Kalau alasan untuk semua sikap Papa cuma karena Mas Juna bukan putra kandung terdengar sangat konyol menurut gue.

"Mas bisa apa kalau Mamalah yang menjadi beban terbesar Mas sekarang?"

Starry Night (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang