Marah bukan menyelesaian masalah.
Diam dan mengalah bukan berarti kalah.
~Daneen▪▪▪
Selamat Membaca~
Aku melihat Rifqi pertama kali saat berkumpul ramai di sekitaran mading. Awalnya kupikir itu awal sekaligus akhir, sebab mungkin tak ada kesempatan lagi untuk bisa bertemu. Namun ternyata, masih ada kemungkinan untuk terus melihatnya karena kelas kami bersebelahan.
Aku sering melihatnya duduk di depan pintu kelasnya bersama teman-teman yang lain, sibuk bermain ponsel dan khikmat mendengarkan celotehan dan juga keluhan teman-temannya. Merutuki takdir buruk bisa satu kelas dengan siswi tertib yang berniat mencalonkan diri menjadi ketua osis seperti Farinka.
Kebetulan yang menyenangkan. Farinka yang merupakan sahabatku, satu kelas dengan Rifqi. Pada semester awal kelas X, aku lumayan sering berkunjung ke kelasnya.
Pernah suatu ketika, aku berkunjung ke kelas Farinka di saat waktu pulang sekolah. Farinka sedang piket membersihkan kelas. Tanpa kuduga, Rifqi juga masih di dalam kelas. Pada saat itu, Rifqi yang hendak pulang langsung dicegat Farinka. Entah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, sahabatku yang ceria ini menanyakan kepada Rifqi bahwa ia sudah menjalankan kewajiban piketnya atau belum. Rifqi menjawab, "sudah." lalu tiba-tiba dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Pandangan kami beradu.
Aliran darahku berdesir hebat. Tubuhku terpaku. Dia memutuskan kontak mata kemudian bergegas meninggalkan kelas. Sampai saat itu, timbul tanda tanya di benakku. Kira-kira dia mengenalku atau tidak, ya?
Ngomong-ngomong tentang Farinka, sudah lama sekali rasanya, aku tidak berkumpul dengan Farinka dan Valerie. Mungkin terakhir kali di kafetaria. Sebab diantara kami memiliki kesibukan masing-masing. Farinka bersama Delia dan juga permasalahan di kelasnya, sedangkan Valerie fokus dengan kehidupannya sebagai pelajar sekaligus selebgram.
Entah suasana hatiku saja atau bagaimana, perasaanku tak enak. Seperti akan ada yang terjadi, kemungkinan kabar buruk.
Perasaan panik mulai menjalar dalam dadaku. Aku berjalan mondar-mandir di kamar. Terus menghela napas berulang kali. Mengetuk kepalaku dengan ponsel yang ada di genggaman. Sedikit sakit, sih.
Aku berusaha menenangkan diri dengan duduk di ujung ranjang. Meneguk sedikit air demi mengobati tenggorokanku yang sangat kering kerontang.
Line!
Atensiku langsung terarah kepada ponsel. Meskipun sebal, aku memberanikan diri untuk membukanya. Sebal karena apa? Sejujurnya ini menyangkut kebiasaan abnormalku.
Tidak tahu juga sih, apakah hanya aku yang mengalaminya atau terdapat orang lain juga di dunia, merasakan hal yang sama sepertiku.
Apa itu? Tidak suka mendengar bunyi notifikasi pesan. Entah itu pesan dari operator atau berisikan nomor tak dikenal yang menyatakan bahwa nomorku menang undian — yang masih menjadi pertanyaan, padahal aku tak pernah mengikutsertakan diri dalam undian tersebut. Juga berisi tagihan bayar uang kontarakan, padahal aku masih tinggal bersama Papa. Pesan dari teman sekelas yang membicarakan hal tidak penting sama sekali melalui via WhatsApp, apalagi yang paling menyebalkan mendapat pesan beruntun spam.
Lupakan soal ketidaksukaanku.
Aku membaca pesan tersebut. Lalu tersentak. Sedari tadi aku belum sempat meneguk ludah, sampai ketika membaca ini aku meneguk ludah secara tiba-tiba. Membuatku tersedak.
Valerie
Assalamu'alaikum, Daneen.
//Ekhm, oke pake salam.
Kali ini gue harus rada serius.
Gue bakal pindah keluar kota sama keluarga gue.
Jadi terpaksa harus pindah sekolah.
Dannnn jangan kangenin gue ye.
20. 20
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...