Mengapa manusia sulit bahagia?
Karena mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa di dunia ini, tidak ada yang sempurna.
~Daneen▪︎ ▪︎ ▪︎
Empat tahun telah berlalu, akhirnya terlewati fase patah hati ketika menikmati bagaimana rasanya mencintai seseorang yang berakhir menjadi pengantin pria untuk gadis lain. Gadis lain yang dimaksud malah sahabatku sendiri. Menyakitkan?
Seumpama melepas busur panah, berharap untuk bisa mencapai titik itu. Hembusan angin utusan semesta justru mengarahkannya untuk bergerak berlawanan, berbalik menusuk pemiliknya sendiri.
Aku tidak tahu, kapan pastinya, waktuku habis membiasakan diriku mengakui bahwa lelaki yang kuharapkan sudah hidup bersama orang lain.
Seharusnya tak perlu pusingkan itu lagi, aku ikut bahagia melihat perjuangan Vani sebagai ibu muda, membimbing Nizam yang masih berumur tiga tahun.
Sudah dapat ditebak, kan? Aku tidak datang ke pernikahan mereka. Ketika itu, ada kebulatan tekadku untuk pergi ke Bandung—menghadiri pesta yang identik merayakan kebahagiaan—, tapi Papa tidak mengizinkanku pergi. Sebenarnya, aku takut mengucapkan nama Rifqi di depannya, nyatanya Papa tidak terkejut sedikit pun.
Ada sesak yang menekan dadaku kuat saat melihat instagram story beberapa temanku yang menghadiri pernikahan mereka. Ada sesal yang berusaha kusangkal hadirnya.
Setelah menjalani hari kehancuran itu, aku merasa kembali menemukan sikap Papa layaknya sedia kala. Papa berubah. Ada saatnya, sikap tegas itu kembali, tapi tidak selepas kendali seperti yang dulu.
Masa hectic menjalani semester akhir, sibuk revisian skripsi, berusaha mencari waktu yang tepat dengan dosbing, sidang yang mendebarkan. Semua terbayarkan ketika menaiki podium mengenakan toga dan tersenyum pada kamera.
Ngomong-ngomong tentang wisuda, jadi teringat kejadian aneh itu. Sejujurnya, aku malas membuka pesan di ponsel karena hampir semua berisi promosi diskon, pengajuan pinjaman, menang undian, dan segala hal konyol lainnya.
Sekitar seminggu setelah wisuda, aku berniat menghapus pesan-pesan tidak penting itu. Namun, ada satu pesan dari nomor yang tidak tersimpan, kira-kira seperti ini isinya, "Congrats! -nagaruj spi". Aku terkejut. Setelah lima tahun lamanya, kenapa kembali muncul? Dan, pesan itu terkirim tepat ketika hari wisudaku.
Setelahnya, tanpa menunggu, aku menelpon nomor itu. Ternyata, nomor itu sudah tidak terdaftar. Lupakan saja.
Katanya, cari kerja di Jakarta itu susah. Dunia kerja terlalu keras. Benar, persaingannya sangat ketat. Berkat pertolongan-Nya, doa Papa, dan usahaku. Aku diterima di Perpusnas RI. Dengan gedung dua puluh empat lantai seakan sejajar dengan tingginya monas.
Tiba-tiba, aku teringat pada saat di hukum Bu Reta. Perpustakaan—tempat sasaran hukumanku—sekarang menjadi tempatku mengais uang untuk menghidupi diriku. Aku tidak ingin manja dengan terus mengandalkan tenaga Papa.
Bisa dikatakan banyak pengunjung datang kemari untuk memanfaatkan fasilitas perpustakaan.
Tidak dapat dipungkiri, minat baca bangsa Indonesia masih terbilang rendah. Entah karena persebaran buku belum meluas di daerah luar Jawa atau karena generasi melek teknologi yang malas membaca.
Berhasil menyelesaikan kuliah, gelar sarjana, dan dapat kerja. Apa cukup sampai di situ? Seharusnya, iya, tapi tidak juga.
Sebentar lagi, mau jalan dua puluh lima, ya. Kapan nikah? Nah, itu semacam boomerang.
▪︎ ▪︎ ▪︎
Sekarang aku dalam perjalanan pulang, lumayan memakan waktu. Berkawan bongkahan awan kelabu yang sebentar lagi mengundang hujan. Angin berhembus lebih garang ketimbang hujan berintensitas rendah yang akan datang.
Aku berbalik arah sebentar untuk mampir ke apotek. Papa minta dibelikan minyak angin andalannya yang sudah habis. Tidak jauh dari sini ada pedagang kaki lima. Segera aku chat Papa kalau-kalau Papa ingin dibawakan makanan. Ternyata tidak.
Sesampai di rumah, aku menyerngit. Tumben Papa belum menyalakan lampu di halaman rumah. Pagar rumah juga tidak tertutup rapat.
Suasana yang sama. Ruang tamu senyap seperti biasa. Papa duduk bersedekap dengan mata tertutup, aku yakin Papa tidak benar-benar tidur. Penampilannya tampak berbeda—mungkin karena kebetulan menutupi badan bagian bawahnya dengan selimut.
Mendengar suara kedatanganku yang memecah sunyi, kelopak mata itu terbuka perlahan. "Papa kenapa tidur di sini? Maaf harus nunggu lama."
Papa mengangguk dan mengucap terima kasih, setelahnya terbatuk dengan mata lelahnya. Papa itu tipe orang tua yang tidak bisa diam, ada saja hal yang dikerjakan.
Ketika aku hendak mencapai anak tangga pertama, ponsel Papa berdering. Namun, Papa hanya melihat sekilas dan berseru, "Tante Laila telepon. Tolong kamu angkat, ya!"
Aku berbalik dengan malas. Tante Laila itu termasuk tante yang terlalu mencampuri urusan orang lain. Beliau juga selalu bertanya kapan aku nikah. Lucunya, Tante Laila itu ibu dari Kak Maira.
Kenapa harus aku, sih? "Papa aja," tolakku. Kemudian hendak berbalik.
"Angkat teleponnya." Papa bersikeras, tidak ingin dibantah.
Aku membuang napas. Menyebalkan saat telepon itu tidak kunjung menyerah menghubungi Papa. "Malas, Pa. Papa aja yang angkat. Arumi capek."
Papa menatapku tidak suka. "Papa bilang angkat. Angkat, Arumi!" tegas Papa.
Ya, Papa kembali memarahiku.
Entah ke berapa kali.Aku melangkah lesu menuju ponsel di atas meja yang tak berhenti bergetar. Untungnya, Tante Laila akhirnya menyerah menelepon Papa. Baguslah. Kemudian, menatap Papa sambil mengangkat bahu, aku kembali ke kamar.
Selesai membersihkan tubuh dan merebahkan diri di kasur, aku gelisah terus memikirkan tingkahku kepada Papa. Membuatku merasa ... bersalah. Hanya perkara angkat telepon saja, kan? Semestinya, aku lakukan saja tadi.
Ngomong-ngomong, Papa sepertinya sedang tidak enak badan.
Papa sakit?
Langkahku terayun ingin menuruni tangga, namun kepalaku menoleh ke lantai dasar yang sudah tidak ada penerangan sedikit pun.
Apa Papa udah tidur? Papa beneran sakit?
Meski sedikit ragu, punggung tanganku yang terkepal menghantam pintu kamar Papa. Setelah menunggu dua hingga lima detik tidak ada respon dari dalam.
"Pa?"
Alih-alih suara Papa, nyanyian jangkrik di luar sana yang makin jelas terdengar di telingaku.
"Kayaknya udah tidur," gumamku pelan. Kemudian berbalik setelah membuang napas lelah.
Selamat tidur, Pa. Maafin Arumi, kataku dalam hati.
Aku duduk diam di kasur. Sehabis mencuci muka dan menyikat gigi membuat tubuhku lebih segar, rasa kantukku jadi hilang.
Tiba-tiba, terdengar dering notifikasi dari ponselku, dengan suka rela aku meraihnya.
Neksi_-
Biie.
Daneen.
SUMPAH YA, GUE UDAH NGGAK TAHAN LAGII!!☹
Besok bisa nggak habis pulang kerja cuss kita langsung ketemuan?
Pesan darinya itu membuatku menyerngitkan dahi. Agak aneh. Malam-malam seperti ini?
▪︎ ▪︎ ▪︎
Ditunggu part selanjutnyaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...