Aku berjalan menuju toilet perempuan sendirian. Sangat sepi, memang. Toilet lumayan jauh dari jangkauan kelas.
Mendekati cermin, membasuh wajah di wastafel supaya segar. Aku menarik gulungan tissue, mengelap air yang membahasi tanganku -aku hanya takut jika saja nanti bukuku akan basah.
Tidak lama setelah itu, pintu toilet dihempas kencang. Aku bisa mendengar beberapa langkah kaki, yang menandakan bukan hanya satu orang.
Aku menatap pintu itu. Ternyata dua orang. Ada Katy dan Natelie. Katy bersedekap, tersenyum remeh. Natelie mendorong setiap pintu toilet, memastikan tidak ada orang selain aku di sini.
"Kebetulan, ya," ujar Katy.
Tidak ada sapaan atau kalimat menenangkan. Hanya ada kalimat pertanda buruk. Lambat laun langkahnya mendekatiku. Tepat di depanku.
Jari telunjuknya mendorong bahu kananku sehingga punggungku terdorong mengenai permukaan wastafel.
Untuk kali ini, aku menyadari bahwa Vani mengkhawatirkanku.
"Ternyata lo berani, ya. Selangkah lebih maju dari gue."
"Lo juga dateng ke sana, 'kan?!" Dia berteriak tidak terima.
Aku mengerjap. Tenggorokan terasa dicekik kepanikan. Cemas menghalauku untuk bisa berteriak meminta tolong. Bagaimana bisa berteriak jika mengeluarkan sepatah kata pun terasa sulit. Tatapan tajam meremehkan itu tersorot ketidaksukaan di dalamnya.
Kalimat itu tidak perlu diperjelas. Karena bagiku sudah teramat jelas.
Jadi, dugaanku selama ini memang benar. Katy tampaknya mencintai Abim. Cintanya buta sampai membuat dia kehilangan kontrol akan dirinya sendiri. Katy tidak ingin ada saingan yang melampauinya. Tidakkah dia tahu, kalau sikapnya seperti ini malah menjadikannya seperti kehilangan akal?
"Iya, tapi-"
Cermin yang membelakangiku menjadi saksi terekamnya perundungan menyesakkan. Tamparan keras sebab ketakutan Katy akan kehilangan cinta mendarat mulus ke pipiku. Gerakan spontan itu membuat air mata bening menggenang di pelupuk mataku. Merah, perih, dan sakit. Tidak, aku tidak boleh menangis.
Matanya melotot, geram. Kebiasaan menghakimi tanpa mau mendengar penjelasan lebih rinci. Kemarahan tanpa sebab yang jelas. Semua tertumpahkan ke diriku. Dari sorot matanya, belum terlihat kepuasaan.
"Kenapa ditampar?" Ku beranikan diri untuk membuka suara.
Dia tertawa kencang, menggelegar dan menggema di setiap sudut toilet. Natelie hanya diam saja menyaksikan.
"Lo tuh, ya, pura-pura bego! Nggak usah bertindak sok nggak tahu apa-apa, deh."
Katy mencengkeram kedua bahuku, lalu mendorong punggungku ke dinding toilet. Aku meringis pelan. Dia tersenyum melihatku yang kesakitan.
"Gue lihat sendiri, kemarin lo datang ke sana. Seharusnya gue bisa samperin Abim, tapi karena ada lo semua jadi berantakan." Dia masih mencengkeram kedua bahuku, sekalipun berontak dia menahan dengan erat.
"Aku datang bukan untuk ngelihat Abim. Bahkan nggak tahu kalau ada dia di sana."
Dia memutar kedua bola matanya. "Ealah, pembelaan aja lo." itu Natelie. Dia masih dengan gaya angkuhnya, dia tidak mengizinkan penjelasan masuk ke pikiran malah membiarkan termakan asumsinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...