Hening,
menjauhkan ku pada bising.Dikala bising aku malah merasa kesepian layaknya semestaku hilang,
tetapi dengan sepi aku merasakan ketenangan.
Seolah menemukan semestaku yang sebenarnya.Kebisingan membuatku tersesat.
Tersesat menemukan diriku yang sebenarnya hilang mencari jalan pulang.~Daneen
▪▪▪
Selamat membaca~
Aku memegang gagang pintu rumah. Namun, sekelabat ingatan tentang kejadian memalukan itu tetap saja terekam jelas di kepalaku. Setelah berusaha menepis pikiran itu dengan menggeleng kuat, aku masuk ke rumah dengan suasana yang sunyi.
Rumahku sudah melewati jabatannya yang menjadi rumah sebatang kara selama tiga jam setengah. Bi Inem biasanya pulang ke rumahnya sekitar jam sebelas, lalu mengunci pintu rumahku dan membawa kuncinya. Jadi, setiap pulang ke rumah, aku harus berkunjung sebentar untuk mengambil kunci rumah. Untungnya, Rumah Bi Inem tidak terlalu jauh.
▪▪▪
Kebiasaanku ketika menstruasi adalah mendengar murottal, ataupun muhasabah dari kajian ustadz di youtube. Karena membuat hatiku lebih tenang.
Ketika mendengar lantunan ayat suci otomatis mataku terpejam. Di ayat terakhir surah yang didengar, gawai ku bergetar karena terdapat panggilan telepon masuk.
Aku menghentikan video youtube dan beralih ke panggilan telepon yang belum menyerah memanggilku sampai benar-benar aku angkat panggilannya. Nama yang tertera yaitu Neksi_-
Tak perlu heran kenapa kontak Nessi diberi nama seperti itu. Kenapa Neksi? Di balik ungkapan itu memiliki makna tersendiri; Nenek Sihir yang sengaja disingkat. Akibat dia yang terus mengoceh.
Apa aku terlihat kejam sekali, ya?
Aku menggeser tombol berwarna hijau. Warna hijau cerah yang baru saja ku tekan, tidak sama dengan atmosfer di kamarku yang bertambah gerah setelah mendengar suara Nessi yang bergairah.
"Assalamu'alaikum hehehe," ucapnya malah cengengesan.
Aku memutar bola mata.
"Waalaikumussalam," jawabku. "Kenapa ketawa?" tanyaku dengan sebal.
Aku bisa menebak, ketika mendengar suaraku dia pasti sedang menyengir lebar.
"Ih gue bener-bener nggak nyangkaaa bangeeet," ungkapnya, yang bisa membuatku mengetahui hal apa yang akan dia bicarakan sampai-sampai tidak menyerah untuk menghubungiku.
Kenapa Nessi selalu berhasil membuatku merasa jengkel. Apalagi dia. Ah, kenapa aku malah mikirin dia?
Aku menggeleng tegas bertepatan dengan pertanyaan Nessi di seberang telepon.
"Ih Daneen!" rutuknya, "lo masih di sana kan?"
Suara Nessi berhasil membuatku terperanjat. "Eh? Iya masih. Kenapa Nessi?"
Nessi menghela nafas pelan. "Oke, gue ulang," ujarnya.
Nggak perlu, itu ucapan penuh penekanan yang tertahan di ujung lidahku.
"Ih gue nggak nyangka aja gitu. Sebagai saksi mata gue syok, sih." Nah, benar kan. Dia membicarakan hal itu.
"Hm terus?" tanyaku malas.
Nessi menghela nafas dengan dramatis. "Ah intinyaa ... gue nggak nyangka. Bener-bener nggak nyangka!" tegas Nessi.
Aku hanya mengangguk tidak minat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...