Selamat membaca~
▪▪▪
Sebenarnya, aku tidak pandai bermain alat musik. Bukan karena tidak pandai, aku malah merasa abai, kan? Jadi, aku berusaha menikmati proses perjuangannya. Kata Papa, "Tidak ada yang namanya tak punya harapan jika masih diberi kesempatan."
Masalahnya, hari ini pengambilan nilai praktek bermain gitar. Aku berusaha menampilkan yang terbaik dari percobaan-percobaan sebelumnya.
Ngomong-ngomong soal Papa, aku jadi kepikiran. Pagi tadi, Papa berangkat kerja lebih dulu tanpa menungguku. Pak Rusdi — sopir pribadi— memberitahuku bahwa Papa akan menentukan konsep desain interior rumah yang akan dibangun seorang influencer. Jadi, Pak Rusdi yang mengantarku.
Sekarang, kelasku tengah berada di ruang minat dan bakat. Tepatnya di ruang musik. Semuanya fokus kepada jemari memetik senar gitar. Terkadang ada rasa kesal pada petikan gitarku yang payah. Nessi saja, sudah gelisah di tempatnya sesekali berdecak.
Di antara banyak jemari mengamit dawai gitar hingga suara sumbang terdengar di setiap ruangan musik, petikan gitar Rifqi mengalun indah menghangatkan hati siapa saja yang mendengar. Nada yang keluar oleh jemari lihainya tampak bekerja sama dengan baik.
Dia terlihat mencolok dari yang lain.
Aku tidak tahu, angka apa yang tertulis di buku nilai Bu Daini. Juga tidak ingin menambah beban pikiran, yang terpenting usaha kerasku sudah terbayar walau sebenarnya tidak cukup hanya dibayar dengan angka sebab ini tentang pengalaman.
Semua mulai keluar dari ruang musik ini, sibuk mengurus remedial ulangan mata pelajaran lain. Salah satunya Nessi dan Vani. Dwi yang tak bersangkutan juga ikut menemani sahabat pertamaku itu. Tinggal aku sendirian.
Lagi-lagi sunyi mengantarku berdialog pada diriku sendiri. Pikiran-pikiran tentang ketakutan yang bahkan belum terjadi mulai mengalir deras. Aku terpikir akan sosok Katy tak pernah muncul lagi. Juga Natelie, saat itu bertemu tatap malah membuang muka kesal. Papa yang perlahan mulai memasang jarak tak kasat mata. Aku tahu, lelaki memiliki ego tinggi.
"Daneen ...," teriak gadis yang baru saja membuka pintu ruang musik.
Aku mendongak, menemukan wajah ceria Farinka yang lama tak muncul di sekolah. Lalu, aku tersenyum.
"Rin, udah masuk lagi? Alhamdulillah. Gimana kabarnya? Udah agak mendingan?" tanyaku padanya, yang memilih duduk di sampingku.
Aku hanya mendengar balasan singkat darinya.
"Lo kenapa sendirian di sini? Lo nggak pa-pa kan, selama gue pergi?" Farinka mulai menginterogasi.
Aku berusaha menampilkan wajah baik-baik saja. "Nggak pa-pa, kok," jawabku berusaha mencegah salah kata, takutnya ditangkap sahabatku yang baru sembuh ini.
Apa Farinka mengetahuinya? Apa raut wajahku semudah itu untuk dibaca?
Setelah lama jeda menguasai, akhirnya Farinka buka suara. "Mau jalan bareng? Kalau mau, hayu kita pergi ke kafetaria bareng! Soalnya aku kangen banget jalan bareng sama kamu, hehe," ajak Farinka kepadaku, terdengar nada canggung di dalamnya.
"Boleh." Aku menatapnya yang mengembangkan senyum ceria, menularkan separuh bahagia kepadaku.
Kami berdua sampai di Kafetaria Smart. Ingin mengobati rindu akan es krim blueberry kesayangannya, Farinka memesan dengan semangat. Suasana canggung hilang begitu saja, kami menikmati waktu berdua yang telah lama tidak kami lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daneen
Teen FictionAntara terpaksa, cinta, dan praduga. "Kamu semestinya seperti itu, Arumi. Kamu harus sadar di dunia ini bukan cuma tentang hidupmu. Bukan hanya tentang sudut pandang kamu." Berusaha meyakinkan Papa lebih keras lagi atau memang Papa yang tidak pernah...